Florence
Sihombing ditahan Polda DIY karena kalimat makian yang dibuatnya di akun path miliknya dilaporkan oleh LSM Jangan
Khianati Suara Rakyat (Jati Sura).
Selain karena laporan salah satu LSM, Ia ditahan karena Polda DIY menganggap
apa yang dilakukan Florence Sihombing merupakan delik absolut yang tidak perlu
ada laporan sebelumnya.
Atas
tindakan memaki di path ini Florence
diadukan telah melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No.11
Tahun 2008) pasal 28 ayat 2 dan KUHP pasal 311. Florence diduga melakukan
penghinaan, pencemaran nama baik, dan provokasi mengkampanyekan kebencian.
Orang
tua, kampus dan kuasa hukum Florence mengajukan penangguhan penahanan yang
akhirnya disetujui pihak Polda DIY.
Kriminalisasi Komunikasi
Kasus
Florence Sihombing (Flo) sebenarnya bukan kasus baru di Indonesia dewasa ini.
Ada beberapa kasus lainnya yang hampir sejenis. Ada orang yang juga dipidanakan
karena dianggap menghina teman di Facebook.
Bahkan seorang Wimar Witoelar yang pernah menjadi Juru Bicara Presiden era
Abdurrahman Wahid, juga dipolisikan karena mengunggah gambar yang menurut pihak
lain memuat pesan penghinaan.
Sejalan
dengan menjamurnya penggunaan internet dan media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan
sejenisnya di Indonesia, marak pula pelaporan atas kejahatan dan pelanggaran
hukum atas hal ini.
Diera
dimana menjamurnya pengguna Facebook
di Indonesia, tercatat sejumlah kasus pelaporan pelanggaran hukum dan kejahatan
yang dilakukan pengguna Facebook .
Mulai dari saling sindir yang berujung pelaporan atas pencemaran nama baik.
Pelampiasan kekesalan pribadi yang berujung pelaporan pidana penghinaan. Hingga
kejahatan penyimpangan seksual yang menjadikan tulisan di wall Facebook sebagai bukti ajakan, dan masih banyak kasus lainnya.
Saat
ketenaran Facebook mulai meredup dan
terbagi dengan adanya twitter, tidak
sedikit juga ciutan yang berujung
pada pemidanaan. Ambil contoh kasus Farhat Abas dengan ciutan yang berbau
rasial. Lalu Benny Handoko yang dilaporkan karena fitnah dan penghinaan oleh
Misbakhun, sampai yang baru saja mereda ciutan Wimar Witoelar yang dilaporkan
oleh
Mulai
meningkatnya pengguna path belakangan
ternyata juga diiringi dengan adanya pelaporan ke polisi atas prilaku
komunikasi melalui media path. Kasus
Flo adalah kasus pertama dimana seorang pengguna path dilaporan karena pesan yang dinilai meresahkan dan menghina
pihak tertentu.
Seiring
dengan semakin mudahnya akses internet bagi masyarakat lewat beragam teknologi gadget semakin memudahkan masyarakat
memanfaatkan berbagai media sosial yang ada. Beragam jenis pesan tertulis,
berbentuk gambar atau hanya berupa tautan media massa atau tautan dari
sumber-sumber lainnya dapat dimuat didalam akun media sosial yang dimiliki.
Perkembangan
teknologi semakin memudahkan dan menyediakan berbagai media/medium komunikasi
sebagai perluasan “tubuh” manusia (McLuhan, 1964) sehingga manusia dapat
menyampaikan pesan dengan berbagai bantuan media/medium. Pesan yang disampaikan
lewat mulut (bicara) bisa juga disampaikan menggunakan radio/telepon dan media
suara lainnya. Demikian juga tulisan yang biasa disampaikan melalui surat/buku
dan media konvensional lainnya dapat juga disampaikan menggunakan jempol yang
menulis dilayar sentuh gadget saat
membuat posting di Facebook, Twitter, Path dan sejenisnya.
Dengan
demikian semakin luas juga kemungkinan seseorang terjerat dengan pemidanaan
atas aktivitas komunikasi yang dilakukannya.
Media Jaringan Sosial Bukan Media Massa
Komunikasi
merupakan aktivitas manusiawi yang tak dapat dipisahkan dari dirinya. Wilbur
Schramm (1955) bahkan mengatakan we
cannot not communicate. Sejalan dengan hal itu komunikasi merupakan
ekspresi kemanusiaan yang esensial. Dengan bahasa yang diciptakan dan
dikembangkannya, manusia memajukan aktivitas komunikasinya.
Perkembangan
masyarakat memungkinkan berkembangnya berbagai media komunikasi. Percakapan
antar individu meluas menjadi penyampaian pesan dari pemimpin kepada anggota
kelompok menuntut perkembangan media-media komunikasi baru yang lebih mumpuni.
Era
internet memungkinkan berkembangnya media-media komunikasi baik untuk
kepentingan komunikasi pribadi maupun publik. Dimanakah posisi FB, Twitter, Path ? apakah ia adalah
media komunikasi massa, publik atau pribadi?
Ditinjau
dari cara seseorang dapat mengakses FB,
Twitter, dan Path serta media
sosial lainnya, media-media tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sebagai
media massa. Seseorang baru bisa “menikmati” pesan-pesan komunikasi di media
seperti FB, Twitter, Path dan lainnya
hanya apabila ia mendaftarkan dirinya terlebih dahulu. Disamping itu,
pesan-pesan tertentu juga hanya dapat dinikmati apabila sesorang menjadi follower (Twitter), friend (Facebook dan
Path).
Jika
ditinjau dari audiens (penerima) pesan yang dimuat pada halaman akun media
tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa pesan yang dimuat memiliki sifat pesan
(untuk) publik. Publik yang dimaksud tentu bukan publik dalam artian luas berupa
komunitas besar orang. Publik yang dimaksud adalah para pengguna media jejaring
sosial yang dimaksud. Publik dalam hal ini adalah jaringan perkawanan yang
dibangunnya. Artinya, publik bagi media seperti FB, Twitter, Path dan
sejenisnya adalah jaringan kawan yang terbangun didalam akun pribadi setelah
seseorang mendaftarkan diri.
Pesan
di FB, Twitter, path dan sejenisnya secara umum dapat dikatakan sebagai pesan
yang bersifat pribadi. Tulisan pribadi yang bukan ditujukan kepada audiens yang
umum, heterogen, anonim dan meluas. Pesan di media tersebut merupakan pesan
pribadi yang memang tidak disiapkan sebagai bentuk pesan dalam komunikasi massa
seperti tulisan jurnalistik, buku dan lain sejenisnya.
Twitter
sejak awal mengatakan pada bagian term of
services-nya bahwa “The Content you
submit, post, or display will be able to be viewed by other users of the
services…”(konten yang anda masukkan, muat atau tampilan dapat dilihat oleh
pengguna lain).
Dibagian
privacy policy, Twitter menambahkan “Any registered user can send a Tweet, which
is a message of 140 characters or less that is public by default…”(setiap
pengguna terdaftar dapat mengirimkan ciutan berisi 140 huruf atau kurang yang
secara otomatis merupakan pesan publik). Dengan demikian sejak awal Twitter sudah menegaskan bahwa, kecuali
pada bagian “message” setiap ciutan adalah
pesan publik yang dapat dinikmati pengguna twitter diseluruh belahan dunia. Dan
tentunya setiap pengguna twitter bertanggung jawab terhadap pesan yang
dipublikasikannya.
Melihat
term di media Path juga hampir serupa dengan apa yang tertera pada twitter. Path mengatakan “Path allows
you to post, access, view and share moments with your friends and message with your friends”
(path mempersilahkan anda untuk mem-posting, mengakses melihat dan berbagi
momen dengan teman-teman anda serta berbagi pesan dengan teman-teman anda). Dari
pernyataan ini jelas bahwa yang dapat mengakses pesan-postingan hanyalah teman-teman. Baik sebagai pribadi yang menerima
pesan (message) maupun sebagai publik
sebagai salah satu dari teman-teman yang dapat menyimak postingan.
Sifat
pesan yang dimuat atau dikrimkan di path
juga merupakan pesan pribadi. Hal ini juga ditekankan oleh Path dalam bagian content
submission bahwa segala postingan adalah tanggung jawab pribadi/pemilik
akun.
Tidak
jauh berbeda dengan twitter dan path, Facebook juga menerapkan hal yang hampir serupa. Dengan privacy
setting yang terdapat didalamnya, Facebook
memberikan kebebasan bagi penggunanya untuk mengatur aksesibilitas pesan yang
ingin dimuat diakun pribadi penggunanya. Facebook
memberikan pilihan apakah posting
seseorang hanya bisa dinikmati oleh seluruh teman-temannya, teman tertentu atau
membiarkan posting tersebut dapat
dinikmati secara umum.
Bijak Menggunakan Jempol
Berkembangnya
berbagai media sosial yang dapat diakses dengan mudah menggunakan gadget
berteknologi canggih mengharuskan masyarakat untuk juga bijak dalam memuat
pesan-pesan di media tersebut.
Berbagai
kasus posting yang berakhir dengan
pemidanaan dapatlah menjadi pelajaran berharga agar semakin bijaksana dalam
menggerakkan jempol untuk memposting
pesan dimedia sosial. Membaca term and
policy dari setiap media jejaring sosial sebelum mendaftarkan diri menjadi
salah satu pengguna media sosial dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami
posisi-posisi dan besarnya tanggung jawab masing-masing.
Era
dimana setiap media sosial ternyata juga dapat berjejaring secara langsung juga
patut menjadi pertimbangan sebelum memuat pesan-pesan tertentu di media sosial.
Boleh jadi seseorang yang memposting
pesan tertentu yang ditujukan hanya dapat dilihat oleh temannya ternyata karena
temannya memposting dengan privasi
terbuka akan dapat dinikmati oleh orang lain yang justru anonim dan boleh jadi
malah menjadi masalah.
“Kata-kata
tidaklah bermakna, kita yang memberinya makna.” Setidaknya hal ini dapat
menjadi peringatan sebelum memutuskan memuat tulisan tertentu di akun media
sosial. Dalam konteks tertentu, kata atau kalimat yang netral dapat dimaknai
baik positif maupun negatif oleh pihak lain.
Dalam
konteks inilah kebebasan menyampaikan pikiran, perasaan, dan pendapat
semestinya dituangkan secara bijak. Kita sendirilah yang menjadi penyaring
pesan dalam media jejaring sosial.
Penulis
Surya
Ferdian
Alumni
Fikom - Unpad
Comments
Post a Comment