Skip to main content

Masa Depan PAN (1): Tragedi Pulang Kandang dan Poros Tengah


KOMPAS
Di hadapan 15.000 orang yang memadati Istora Senayan, Jakarta, 23 Agustus 1998, tokoh reformasi Amien Rais meresmikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Didukung tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan agama, PAN berdiri dengan lambang matahari yang menyinari segala penjuru.
Partai Amanat Nasional (PAN) menarik bukan hanya karena sejarah berdirinya, melainkan karena perjalanan politiknya yang mengubah partai perjuangan ini menjadi partai figur. Dari semangat partai berdimensi plural menjadi partai bernuansa tunggal.
Sebagai partai politik yang kemunculannya memanfaatkan momentum gerakan reformasi yang menumbangkan Orde Baru, PAN awalnya sangat dekat dengan semangat pembaruan dengan menggalang sebanyak mungkin elemen masyarakat.
Sebagian tokoh kunci reformasi menjadi tiang berdirinya partai berlambang matahari ini. Di tengah kerusuhan yang masih berlangsung di sejumlah kota di Indonesia, sedikitnya 50 tokoh nasional pada 14 Mei 1998 di Jakarta berkumpul membentuk kelompok pro-demokrasi baru, yang dinamai Majelis Amanat Rakyat (Mara).
Mara adalah wadah terbuka dengan tujuan memperjuangkan keadilan dan demokrasi di Indonesia, dengan melibatkan unsur-unsur dari lintas agama, suku, dan ras. Ia menjadi wadah kerja sama berbagai organisasi dan perseorangan yang memiliki komitmen terhadap reformasi, dibentuk untuk mendorong terbukanya jalan ke arah perubahan situasi yang damai dan demokratis.
Ia didukung tokoh Muhammadiyah, seperti Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, juga didukung tokoh Nahdlatul Ulama, seperti KH Mustofa Bisri, Salahuddin Wahid, Ulil Absar Abdalla, serta tokoh Islam moderat Nurcholish Madjid. Tokoh intelektual Islam, Emha Ainun Nadjib, juga menjadi bagian dalam sejarah pendirian Mara.
Tidak hanya dari kalangan Islam, kehadiran Mara juga didukung Frans Magnis-Suseno dan Mudji Sutrisno. Mara juga menjadi wadah bagi bersatunya sejumlah ahli hukum, ekonom, akademisi, dan kalangan intelektual lainnya. Jurnalis senior Goenawan Mohammad juga menjadi salah satu pencetusnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Simpatisan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam kampanye terbuka memenuhi lapangan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 29 Maret 2004. Ketua Umum PAN Amien Rais hadir dan memberikan orasi politiknya.
Setelah Presiden Soeharto ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Indonesia dihadapkan pada pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan presiden yang baru. Politik elite pun menghangat. Hasrat untuk membuat partai menjadi euforia bagi tokoh baru ataupun tokoh lama yang selama ini terkekang kekuatan politik ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golongan Karya) yang diciptakan Soeharto.
Terdapat 181 partai politik yang berdiri, 141 di antaranya tercatat di Departemen Kehakiman, tetapi akhirnya yang lolos verifikasi dan dinyatakan sah ikut pemilu hanya 48 partai (Tim Litbang Kompas, ”Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program”, 1999). Di antara partai peserta Pemilu 1999 inilah terdapat PAN.
PAN didirikan 50 tokoh nasional, sebagian besar di antaranya merupakan tokoh-tokoh yang telah mendirikan Mara, di antaranya Amien Rais, Faisal Basri, Goenawan Mohammad, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao, dan Kristoforus Sindhunata.
Dideklarasikan pada 23 Agustus 1998 di Istora Senayan Jakarta dengan dihadiri massa, PAN tampaknya akan menjadi partai baru yang mampu menyedot pemilih pada Pemilu 1999.
Pemilu reformasi
Mimpi PAN untuk menjadi partai terbesar dalam pemilu pertama di era reformasi ternyata tidak menjadi kenyataan. PAN hanya mampu meraih 7,12 persen suara pemilih. Berada di urutan kelima, PAN berada di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Ada sejumlah penjelasan terkait rendahnya suara PAN.
Pertama, banyaknya pemilu, yang membuat suara terdistribusi ke begitu banyak partai. Dengan banjirnya pasar politik oleh partai yang beragam, pemilih yang sebelumnya tidak memiliki kaitan ideologis dengan partai-partai lama memiliki keleluasaan yang demikian besar untuk menentukan pilihan pada partai-partai yang sesuai dengan kepentingan dan ideologinya saat itu.
Kedua, basis massa rill ternyata lebih tertarik kembali ke partai yang sudah mengakar dan memiliki sejarah panjang. Reformasi sebagai gerakan tak membuat pemilih berpindah ke partai baru, tetapi sekadar terlepas dari Golkar untuk kembali ke akarnya.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE)
Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan (tengah), didampingi Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN Soetrisno Bachir (kiri) dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais (kanan) hadir dalam acara Rapat Pimpinan PAN di Jakarta, 27 Maret 2016.
Basis massa nasionalis kembali ke partai nasionalis lama, basis massa agama kembali ke partai bernuansa agama sebelumnya. PDI-P sebagai partai yang memiliki akar sebagai partai terbesar zaman Orde Lama, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), pada pemilu ini mendapat suara terbesar (33,74 persen), serta PPP serta PKB yang memiliki kaitan sejarah dengan Partai Nahdlatul Ulama (NU) pada Pemilu 1955, juga mendapat suara signifikan di atas PAN.
Adapun Golkar ternyata belum sepenuhnya runtuh, bahkan mampu bertahan di urutan kedua perolehan suara. Dengan demikian, Pemilu 1999 lebih terbaca sebagai pemilu ”pulang kandang” daripada sebuah pemilu reformasi yang idealnya membentuk formasi baru.
Kegagalan PAN untuk menarik arus demokrasi ke dalam himpunan kekuatan baru barangkali menjadi cermin paling nyata, bukan hanya bagi PAN, melainkan juga bagi bangsa ini yang gagal merumuskan sebuah visi baru Indonesia ke depan karena kemudian aspek-aspek primordialitas menjadi panggung yang lebih mengemuka.
Bahkan, kemudian PAN pun menjadi semakin tertarik ke dalam sektariannya sendiri, kalangan Muhammadiyah. Dalam perjalanannya, PAN juga kian menampilkan sosok sebagai partai figur. Sentralisasi kekuatan pada sosok Amien Rais menyebabkan setelah Pemilu 1999, PAN semakin identik dengan tokoh gerakan reformasi ini.
Dengan perubahan ini, partai yang semula diawali sebagai partai program (perjuangan) menjadi partai yang sulit dibaca program politiknya selain kebijakan-kebijakan atau langkah-langkah individual Amien Rais. Kehadiran ketua-ketua umum berikutnya pun tak mampu menisbikan peran Amien Rais dalam gerak langkah PAN.
PAN menjadi semakin tertarik ke dalam sektariannya sendiri, kalangan Muhammadiyah.
Lambaian dan tepuk tangan yang riuh ketika menyambut kehadiran PAN di Istora Senayan tinggal kenangan yang perlahan menghilang seiring kecamuk politik yang menempatkan PAN sebagai partai yang terlalu cepat berubah haluan.
Perubahan Haluan
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Ketua Umum PAN M Hatta Rajasa, didampingi pendiri PAN Amien Rais, menyerahkan bendera organisasi kepada Ketua Garda Muda Nasional (GMN), Kuntum Khairu Basa (kanan), saat pelantikan pengurus GMN periode 2012-2017 di Jakarta, 8 April 2012 malam. GMN merupakan salah satu sayap PAN.
Peristiwa pemilihan presiden tidak langsung yang dilakukan parlemen hasil Pemilu 1999 menjadi penanda paling kuat berubahnya haluan partai ini. Pemilu legislatif yang dimenangkan PDI-P ternyata tidak otomatis menempatkan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, sebagai Presiden RI.
Lewat berbagai manuver yang kemudian dikenal sebagai penggalangan kekuatan ”Poros Tengah”, Amien Rais menjadi tokoh utama yang berhasil menggeser peluang Megawati. Ia menghimpun koalisi dari partai-partai berasaskan Islam di parlemen, seperti PKB, PAN, PPP, Partai Keadilan (PK), dan Partai Bulan Bintang (PBB), dan berhasil menempatkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus pendiri PKB, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai presiden.
Namun, di balik keberhasilan Amien Rais menggalang kekuatan ini, PAN seolah menasbihkan dirinya sendiri menjadi partai Islam. Dan, untuk selanjutnya partai ini bergantung pada dua tautan: figur Amien Rais dan Muhammadiyah. Tautan itu kian menemukan kristalisasi dalam Pemilu 2004 ketika Amien Rais mencalonkan diri sebagai kontestan meraih kursi presiden.
Dengan hanya didukung partai-partai kecil, ia betul-betul harus bersandar pada dukungan kalangan Muhammadiyah dan nama besarnya sebagai tokoh reformasi 1998 setelah gagal menggalang dukungan yang solid dari partai-partai ”Poros Tengah” yang dulu dibidaninya.
Ia kehilangan popularitasnya di kalangan NU dan PKB setelah menghimpun suara parlemen untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan ketika kekuasaannya baru berlangsung satu setengah tahun.
Berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo, Amien Rais hanya meraih 14,66 persen suara atau berada di urutan keempat di bawah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, dan Wiranto-Salahuddin Wahid. Pasangan Amien-Siswono hanya mampu mengungguli pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Amien Rais kehilangan popularitas di kalangan NU dan PKB setelah menjatuhkan Gus Dur.
Setelah Pemilu 1999 dan 2004, suara PAN relatif stabil di peringkat ke-5-6 dengan kisaran suara 6-7,5 persen. Apakah pada Pemilu 2019 PAN akan mampu bertahan? Perubahan sistem pemilu mendatang diprediksi berpengaruh besar pada partai-partai yang tidak lagi dikelilingi figur-figur kuat yang populer. (Bersambung)(Bambang Setiawan/Litbang Kompas)



Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev