Dalam Keterangannya dihadapan sidang Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Kasus Bank Century, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menyatakan bahwa kebijakan yang diambilnya untuk mengatasi masalah "dampak sistemik" sektor keuangan telah dilaporkan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa Raden Pardede selaku sekretaris KSSK juga mendapat "CC" (carbon copy:pen)mengenai hal tersebut. Walaupun, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden saat itu menyatakan tidak menerima "CC" yang dimaksud.
Terlepas dari perdebatan apakah benar ada SMS yang dimaksud, ada hal yang menarik untuk dicermati berkenaan dengan situasi ini.
Pertama, demam sms ternyata bukan hanya melanda kalangan anak muda untuk keperluan "remeh" semata. Terbukti bahwa bahkan untuk menginformasikan kebijakan yang menyangkut kepentingan negara, layanan pesan singkat juga telah menjadi alat penting.
Kedua, peristiwa ini juga membuktikan telah adanya peresapan teknologi dalam sistem birokrasi di Indonesia dewasa ini. Birokrasi yang konvensional telah mulai tergerus oleh teknologi sistem informasi.
Ketiga, hal ini membuktikan apa yang telah lama dikatakan Everet M. Rogers, pakar ilmu komunikasi, "communication technology is an extended of human organ".
Perkembangan teknologi komunikasi yang kian canggih dewasa ini membuat komunikasi manusia semakin tidak terbatas. Pemeo, ilmu komunikasi "we can not not to communicate" benar semakin dapat dirasakan berkat bantuan teknologi komunikasi yang kian canggih.
Persoalannya adalah apakah sistem pranata sosial dimana manusia-manusia itu berkomunikasi itu telah juga mampu menangkap gejala yang sama dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi.
Di Indonesia khususnya, UU ITE yang diharapkan mampu menjadi pranata untuk menanggapi perkembangan teknologi komunikasi justru telah dipraktekkan secara salah dalam menangkap hal ini. Jerat hukum Pidana yang diterapkan terhadap "pemanfaatan" teknologi canggih dalam komunikasi justru malah mempersempit ide dasar teknologi komunikasi sebagai cara memperluas kebebasan berkomunikasi.
Bersamaan dengan itu, masih kental penolakan birokrasi atas penggunaan teknologi komunikasi yang memungkinkan efisiensi dan efektifitas komunikasi. Kita bisa rasakan bagaimana keruwetan birokrasi dalam sistem administrasi kependudukan misalnya, dimana untuk melaporkan kelahiran, kematian atau perubahan status kependudukan lainnya justru teknologi komunikasi yang demikian canggih justru malah seolah "haram" digunakan.
Dengan adanya peristiwa SMS dari Menkeu kepada Presiden inilah seharusnya para birokrat ditas mulai sadar tentang keluwesan birokrasi dengan adanya teknologi komunikasi. Kedepannya, kita bisa berharap tidak lagi perlu repot-repot untuk membuat atau memperpanjang KTP, Kartu Keluarga dan seterusnya. Masyarakat bisa melakukan hal ini cukup dengan sms kepada para birokrat yang dituju. Toh untuk melaporkan keputusan yang krusial bagi negara saja sms dapat digunakan, mengapa kalau hanya sekedar untuk perpanjangan KTP dan sejenisnya SMS tidak dapat digunakan?
Terlepas dari perdebatan apakah benar ada SMS yang dimaksud, ada hal yang menarik untuk dicermati berkenaan dengan situasi ini.
Pertama, demam sms ternyata bukan hanya melanda kalangan anak muda untuk keperluan "remeh" semata. Terbukti bahwa bahkan untuk menginformasikan kebijakan yang menyangkut kepentingan negara, layanan pesan singkat juga telah menjadi alat penting.
Kedua, peristiwa ini juga membuktikan telah adanya peresapan teknologi dalam sistem birokrasi di Indonesia dewasa ini. Birokrasi yang konvensional telah mulai tergerus oleh teknologi sistem informasi.
Ketiga, hal ini membuktikan apa yang telah lama dikatakan Everet M. Rogers, pakar ilmu komunikasi, "communication technology is an extended of human organ".
Perkembangan teknologi komunikasi yang kian canggih dewasa ini membuat komunikasi manusia semakin tidak terbatas. Pemeo, ilmu komunikasi "we can not not to communicate" benar semakin dapat dirasakan berkat bantuan teknologi komunikasi yang kian canggih.
Persoalannya adalah apakah sistem pranata sosial dimana manusia-manusia itu berkomunikasi itu telah juga mampu menangkap gejala yang sama dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi.
Di Indonesia khususnya, UU ITE yang diharapkan mampu menjadi pranata untuk menanggapi perkembangan teknologi komunikasi justru telah dipraktekkan secara salah dalam menangkap hal ini. Jerat hukum Pidana yang diterapkan terhadap "pemanfaatan" teknologi canggih dalam komunikasi justru malah mempersempit ide dasar teknologi komunikasi sebagai cara memperluas kebebasan berkomunikasi.
Bersamaan dengan itu, masih kental penolakan birokrasi atas penggunaan teknologi komunikasi yang memungkinkan efisiensi dan efektifitas komunikasi. Kita bisa rasakan bagaimana keruwetan birokrasi dalam sistem administrasi kependudukan misalnya, dimana untuk melaporkan kelahiran, kematian atau perubahan status kependudukan lainnya justru teknologi komunikasi yang demikian canggih justru malah seolah "haram" digunakan.
Dengan adanya peristiwa SMS dari Menkeu kepada Presiden inilah seharusnya para birokrat ditas mulai sadar tentang keluwesan birokrasi dengan adanya teknologi komunikasi. Kedepannya, kita bisa berharap tidak lagi perlu repot-repot untuk membuat atau memperpanjang KTP, Kartu Keluarga dan seterusnya. Masyarakat bisa melakukan hal ini cukup dengan sms kepada para birokrat yang dituju. Toh untuk melaporkan keputusan yang krusial bagi negara saja sms dapat digunakan, mengapa kalau hanya sekedar untuk perpanjangan KTP dan sejenisnya SMS tidak dapat digunakan?
Comments
Post a Comment