Skip to main content

CIKEUSIK: MENCABIK KEBHINEKAAN

"Saat ini sudah ada 24 jemaah yang insyaf, dan kembali mengikuti ajaran Islam yang benar. Saya berharap yang lain juga bisa. Kami lakukan pembinaan sampai mereka betul-betul insaf" (Ratu Atut, Gubernur Banten).

Entah apa yang ada di benak putri pendekar Banten, Ratu Atut, ketika kalimat tersebut mengalir deras dari mulut manisnya. Sebagai pimpinan daerah yang ucapannya merupakan tuah bagi masyarakatnya, tentu Ratu Atut dengan sangat sadar mengucapkan kalimat diatas. Hal ini nampak bergayung sambut atas ujaran dari Suryadharma Ali, Menteri Agama, yang bahkan sebelum ia menjabat sudah menyatakan pandangannya terhadap penganut Ahmadiyah


Taat Kepada Pimpinan (Ulil Amr)
Kalangan muslimin sangat kenal akan salah satu ajaran baik untuk taat kepada ulil amr yang sering diterjemahkan sebagai imam, pimpinan, bahkan secara luas adalah pemerintah. Oleh karenanya apa yang ulil amr ini ucapkan akan menjadi seolah perintah yang wajib dilaksanakan dan jika meninggalkannya seolah adalah sebuah “dosa”.

Menggunakan cara pandang yang demikian ini, tidak heran kalau ujaran-ujaran pemerintah berkait Ahmadiyah menjadi hal yang justru berakibat fatal. Apalagi ujaran-ujaran pemerintah tersebut kemudian digaungi oleh kalangan anti keberagaman. Seolah menjalankan aturan agama untuk mengikuti/taat kepada ulil amr mereka merasa berkewajiban menerjemahkan dalam bentuk praktek bahkan yang paling ekstrim.

Apa yang nampak di mata kita pada peristiwa penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) salah satunya dapat dilihat sebagai bentuk pelaksanaan aturan untuk taat kepada pemimpin.

Tanpa ada yang memimpin dan merasa berkewajiban untuk menerjemahkan ujaran ulil amr niscaya Cikeusik akan menjadi bersimbah darah. Penganut JAI di Cikeusik bukanlah penduduk yang baru saja tinggal dan menetap di sana. Mereka sudah hidup berdampingan secara damai dengan penganut ajaran lainnya sudah lebih lama bahkan dari pemerintahan sekarang. Kalau memang mereka telah berkonflik sejak lama, tentu mereka akan sudah lebih dulu pindah ketempat lain dan mungkin Cikeusik tidak akan pernah terdengar sebagai salah satu tempat menetapnya sekelompok penganut Ahmadiyah.

Kenyataannya, kehidupan berdampingan secara damai di Cikeusik mulai terkoyak tatkala ada pihak-pihak yang berupaya mempertajam perbedaan menjadi konflik yang antagonistik.

Walau tidak diakui dan ditolak oleh pembesar kelompok agama mayoritas seperti NU dan Muhammadiyah seperti HOS Cokroaminoto, Buya HAMKA, dan lainnya, namun tidak ada pemberitaan bahwa ada penganut Ahmadiyah diserang, disiksa dan dibunuh secara keji oleh kelompok agama lainnya. Bahkan Buya HAMKA, HOS. Cokroaminoto dan Ir. Soekarno tetap mengakui jasa-jasa baik Ahmadiyah baik di dalam maupun di Luar Negeri. Dari hal ini kita bisa melihat bagaimana Ulil Amr pada jaman dahulu menyikapi perbedaan dan mengutarakan pandangannya dengan kedamaian, yang sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Hal ini lah yang kemudian diikuti oleh umat, sehingga tidak ada darah yang tercecer percuma karena perbedaan keyakinan.


Sampaikanlah Walau Hanya Satu Alif
Hal yang tidak dapat dihindari ketika seseorang memiliki keyakinan tertentu adalah memperaktekannya dalam keseharian hidupnya. Ajaran-ajaran baik dari sebuak keyakinan yang dipraktekkan oleh setiap anggota masyarakat tentunya akan sangat indah terlihat dan tentu penuh kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan.

Hal ini berbeda ketika setiap pemeluk sebuah keyakinan merasa “berkewajiban” untuk menyampaikan keyakinannya kepada orang lain. Bahkan lebih dari itu merasa wajib menyebarluaskan keyakinannya dan menarik sebanyak mungkin orang yang memeluk keyakinan yang sama.

Ada satu dalil yang sering dijadikan landasan oleh kaum muslimin untuk merasa wajib menyampaikan keyakinannya atau secara luas kepada orang lain. “…Sampaikanlah walau cuma alif”. Nampaknya inilah yang menjadi faktor penguat bahwa setiap muslimin wajib memberi ilmu (menyampaikan keyakinan) walau dia hanya tahu hal yang paling sederhana.

Pada saat perasaan wajib yang demikian bercampur dengan tekad “katakanlah kebenaran walau akan menyakitkan” namun tidak dilandasi kematangan pemahaman maka yang terjadi adalah klaim tentang kebenaran. “Keyakinan saya benar dan saya harus sampaikan kepada orang lain walau harus menyakitkan”. Ketika ini terjadi maka tidak ayal setiap orang akan menjadikan keyakiannya sebagai yang paling benar dan dengan “bantuan” pimpinan yang mengatakan bahwa suatu ajaran atau keyakinan lain itu sesat , maka setiap orang tersebut merasa berkewajiban mendakwahkan kebenaran kepada orang lain yang berbeda. Pasalnya, hal ini akan berbuntut kekacauan tatkala keyakinan itu tak mampu dipertahankan dengan keagungan pikiran dan kedalaman pemahaman.

Inilah yang setidaknya menurut penulis juga melandasi apa yang terjadi di Cikeusik dan beberapa tempat lainnya. Ada yang mencoba berdakwah namun tidak mampu mempertahankan keyakinan secara dewasa dan bertanggung jawab. Sehingga tatkala mulut dan pikiran terbelenggu oleh nafsu maka yang terjadi adalah penyerangan secara fisik bukan perbantahan akal.

Rantai Kekuatan “Milisi Moral”
Sedikit merunut beberapa kejadian kekerasan atas nama keyakinan yang terjadi di Indonesia kita bisa mulai menjejakkan kaki pada beberapa tahun sebelum Soeharto turun dimana sudah mulai ada “keterbukaan” terhadap apa yang Order Baru dahulu sebut sebagai gerakan ektrim kanan (ekstrim keagamaan).
Gerakan ekstrim baik kiri maupun kanan yang pada jaman orde baru menancapkan kuku kekuasaannya dilarang bahkan diberangus, mulai menampakkan gejala perkembangannya tatkala kekuasaan Order Baru berada di ujung tanduk. Keduanya berkembang pada dua titik ekstrim yang bersebrangan namun memperoleh momen “kebersamaan” tatkala terdapat musuh bersama yaitu rezim otoritarian-birokratik orde baru. Keduanya berjalan bersama tatkala berupaya menggulingkan Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru.

Namun masa “bulan madu” itu tidaklah berlangsung lama. Tatkala orde baru tumbang, masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Tidak dapat bertemunya dan bersatunya kepentingan masing-masing membuat persekutuan menjadi semakin rapuh dan akhirnya pecah.

Momen pecahnya persekutuan ini mendapat tonggak peneguh saat isu “komunisme” kembali menyeruak diangkasa pergerakan reformasi saat itu. Disaat inilah kelompok ekstrim kanan memperoleh momen akselerasi terbaiknya. Dengan didukung “pemerintah” kelompok ekstrim kanan ini kemudian membesarkan dirinya dengan sangat leluasa sementara pihak yang berseberangan dengannya semakin terpukul mundur. Gerakan prodemokrasi saat itu kemudian diidentifikasi sebagai upaya bangkitnya setan lama komunisme.

Tanpa “lawan” yang cukup berarti, gerakan ekstrim kanan ini kemudian semakin melenggang bersama dengan perubahan pengusa republik. Walau sempat terhambat pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, gerakan ekstrim kanan ini nampak menjadi kekuatan yang cukup dipertimbangkan oleh pemerintah.

Pada masa dimana kelompok ekstrim kanan sudah semakin sadar akan posisinya yang cukup dipertimbangkan pemerintah inilah gerakan ekstrim kanan semakin meningkatkan intensitas aktivitasnya dari sekedar dakwah di masjid-masjid hingga menjadi semacam “polisi moral” bangsa Indonesia. Pengrusakan tempat hiburan, tempat ibadah dan berbagai tindakan lain mereka lakukan dengan dalih moralitas dan keyakinan.

Menarik kita cermati apa yang terjadi di Priok pada saat terjadi kerusuhan dimana pemerintah (PT.PELNI) bermaksud memindahkan makam “Mbah Priok”. Si Mbah yang oleh komunitas muslim dikenal dengan Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad al Hadad Husain Ass Syafi’I Sunnira (atau Habib Hasan bin Muhammad Husain) ternyata lebih dikenal dengan sebutan Mbah Priok oleh masyarakat setempat karena kedekatannya dengan masyarakat.

Pertama, hal ini bermakna bahwa sudah sejak dahulu apa yang sekarang ini digemborkan masyarakat dengan Habib telah berupaya keras untuk berakulturasi menjadi Indonesia. Keadaan ini jelas berbeda dengan maraknya Habib-habib di masyarakat sekarang yang mengusung ide-ide ekstrim timur tengah. Kedua, pemerintah sudah semakin tidak dapat mengendalikan “sekutu” utamanya.

Apa yang terjadi di Cikeusik dan Temanggung beberapa hari belakangan dan di beberapa tempat lainnya adalah tambahan deretan kenyataan semakin tidak berdayanya pemerintah untuk mengendalikan gerakan ekstrim kanan yang sebelumnya merupakan “alat” untuk memukul gerakan ekstrim kiri.


Mengokohkan Kembali Ikrar Bhineka Tunggal Ika
Apa yang terjadi di Cikeusik dimana tiga nyawa melayang dengan cara keji merupakan pukulan telak bagi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang dinobatkan sebagai pemimpin yang berprestasi dalam hal penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Nyatanya bahkan untuk menjamin hak dasar warganya pun SBY ternyata tidak sanggup lakukan. Tiga nyawa meregang demi mempertahankan keyakinan yang berbeda dari mayoritas bukanlah hal sepele apalagi terdapat aparat pemerintah yang seharusnya dapat menjaga ditempat dimana warga Ahmadiyah dianiaya secara keji tanpa perikemanusiaan.

Parahnya, tidak berselang lama bahkan tiga Gereja di Temanggung dirusak oleh sekelompok orang yang secara membabi buta merusak tempat ibadah, dengan dalih penghinaan atas keyakinan. Gereja rusak tanpa berhasil dicegah oleh aparat pemerintah.

Dikalangan umat muslim, dikenal sebuah pribahasa mulutmu adalah pedangmu. Berangkat dari hal inilah sekiranya “perbaikan” yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencegah kembali terjadinya peristiwa Cikeusik dan Temanggung di seluruh wilayah NKRI.

Pertama, Pemerintah sebagai salah satu ulil amr bersama para ulama dan pimpinan umat lainnya sudah sepantasnya untuk mengelola komunikasi mereka dengan baik. Mengelola dalam arti bahwa setiap pesan yang disampaikan ulil amr haruslah mempertimbangkan segi-segi sensitif masyarakat. Jangan ada lagi pernyataan-pernyataan pemerintah yang bernada menghakimi keyakinan individu apalagi menyatakan permusuhannya baik secara tersirat maupun tersurat seperti apa yang dilakukan oleh Suryadharma Ali maupun Ratu Atut Choisyah. Tindakan affirmatif untuk mencegah konflik haruslah dikomunikasikan sebagai bahasa hukum yang jelas dan tegas dan bukan bahasa politik yang sumir.

Hal demikian ini baru akan dapat dilaksanakan jika pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk merawat kebhinekaan. Kesadaran masyarakat akan perbedaan sebagai karunia yang indah harus terus digelorakan bukan malah diperuncing menjadi konflik bersegi antagonis. Pilihan untuk menjamin kebebasan berkeyakinan harus diletakkan sebagai pondasi utama dimana pemerintah bertugas menjaga agar keyakinan-keyakinan itu tidak malah membuat runtuh kebangsaan. Individu berkeyakinan harus tunduk pada ketertiban hubungan sosial yang dijaga oleh aturan yang dibuat pemerintah.

Kedua, Pemerintah harus berupaya agar “propaganda perang” dalam bentuk apapun harus dicegah dan ditindak secara hukum. Pernyataan-pernyataan permusuhan dan segala bentuk komunikasi yang pada intinya menanamkan kebencian harus dipandang sebagai bentuk kejahatan. Iklim keterbukaan informasi yang sedang bergemuruh di Indonesia dapat dijadikan prasarana pemerintah untuk memperoleh informasi dari masyarakat secara langsung mengenai pernyataan-pernyataan permusuhan dan kebencian yang dikemukakan baik oleh individu maupun kelompok terhadap individu dan atau kelompok lainnya.

Hal ini mengingat tidak jarang kita jumpai bahwa kesempatan dakwah di kalangan kelompok berkeyakinan malah berisi pesan, anjuran bahkan ajakan untuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama bangsa Indonesia. Pemuka-pemuka agama harus diajak duduk bersama untuk merumuskan bagaimana agar setiap kesempatan perjumpaan dengan umat haruslah menjadi momen yang menyenangkan untuk kembali merefleksikan keagungan Tuhan YME yang menciptakan manusia dengan segala keberagamannya. Haruslah menjadi momen yang baik untuk kembali menggugah keimanan dalam praktek baiknya dalam keseharian.

Ketiga, Pemerintah melalui aktor-aktornya harus dapat secara dekat membina kebhinekaan yang sudah sejak dahulu hidup di masyarakat nusantara. Peningkatan kesadaran keberagaman melalui program-program pendidikan terpadu dapat menjadi pilihan pemerintah untuk membina kesadaran akan pentingnya keberagaman. Setiap kelompok keyakinan harus dapat difasilitasi untuk memperkaya dan memperdalam keyakinannya dengan tujuan memupuk semangat hidup berdampingan secara damai untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Kecenderungan bahwa setiap pemeluk keyakinan akan berupaya mengkomunikasikan keyakinannya, dalam artian mendakwahkan, haruslah difasilitasi untuk sampai pada pemahaman keyakinan yang sedalam-dalamnya bahwa Tuhan YME memang sengaja menciptakan keberagaman agar manusia dapat belajar darinya. Sehingga siapapun umat yang “berdakwah” hanya akan menganjurkan perdamaian dan pencapaian hidup yang baik sekarang dan dimasa yang akan datang.

Namun diantara semuanya yang paling utama adalah negara harus mengupayakan agar tidak mencampuri urusan pilihan keyakinan individu warga negara. Negara wajib hadir ketika ada individu yang mengatasnamakan keyakinan melakukan aktivitas yang dapat mengancam keberlangsungan dan keutuhan individu lainnya.

Semoga apa yang terjadi di Cikeusik adalah yang terakhir terjadi di Indonesia, pembunuhan atas dasar perbedaan keyakinan.., amien.


Surya Ferdian
Penikmat Kedamaian

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev