Setelah menunggu sepuluh hari memegang surat tilang dari Polisi, hari
ini saya mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ini adalah
pengalaman pertama saya menjalani proses hukum di institusi Pengadilan.
Bersiap dengan pakaian rapi karena yang akan saya datangi adalah
institusi negara dan segera berangkat saat jam menunjuk pukul 7.30,
karena sidang akan berlangsung Pukul 8.00.
Makan pagi selesai pukul 7.15. Sambil menunggu pukul 07.30 sebelum berangkat, saya bermain dengan buah hati. Mengendarai sepeda motor yang sama, saya periksa lebih dahulu apakah lampu dan kesiapan kelengkapan kendaraan. Untung hari ini jalur yang dilalui tidak terlampau padat, dan saya tiba di Pengadilan tepat pukul 8:15.
Setelah memarkirkan kendaraan dan bertanya kepada petugas pemeriksa dipintu masuk ruang kantor Pengadilan saya di arahkan ke lantai 3 tempat pengambilan SIM sepeda motor berada.
Sempat gugup karena terlambat dari jadwal yang tertera didalam surat tilang, saya mendatangi ruang dimana sudah terdapat antrian orang menyerahkan surat tilang. Tanpa banyak bertanya, saya serahkan juga surat tilang yang ada ditangan saya dan memperoleh nomor antrian 149.
Saat menyerahkan surat tilang, ada 2 orang di belakang saya yang juga menyerahkan surat tilang dengan tambahan lampiran fotocopy kartu pers dari dua nama media berbeda yang tidak terlampau saya kenal namanya. Ada perasaan aneh ketika melihat hal tersebut, namun tidak terlalu saya pusingkan.
Menunggu tidak terlalu lama, petugas dari dalam ruang sidang disebelah Ruang Prof. Oemar Senoadji memanggil nomor antrian saya. Saya serahkan nomor antrian, dan petugas meminta pembayaran denda sebesar Rp. 75.000,00. Sambil ragu saya serahkan uang sebesar Rp. 100.000,00 dan memperoleh kembali sebesar Rp.25.000,00 dan SIM saya yang sebelumnya ditahan.
Ketika saya tanyakan berapa sebenarnya besaran denda tilang resmi yang saya tahu biasanya diumumkan secara terbuka, petugas berpakaian batik warna merah dengan motif kotak-kotak menjawab " ini biasanya saja, Rp.75.000,00. kalau mau ikut sidang saya daftarkan," Begitu ujarnya.
Cukup heran juga dengan jawaban petugas berpakaian batik tersebut. Saya bertanya kepada orang disebelah saya yang juga diperlakukan sama, dan ia meminta bukti/kuitansi pembayarannya. Tanpa memperolah jawaban yang memuaskan, orang tersebut hanya meninggalkan saya dan bergegas menuju lantai 2 tempat dimana ia diperintahkan petugas untuk dapat mengambil bukti pembayarannya.
Saya bertemu kembali dengan orang ini di lantai 2 dan ia hanya bilang ia di"lempar" kembali ke lantai 3. Saya pun hanya tersenyum menyaksikan kesibukannya.
Waktu menunjukkan 08.35 dan saya masih berada dilingkungan PN Jakarta pusat. Saya kembali bertanya pada petugas berbatik yang keluar dari ruang-ruang kantor disini tentang sidang dan ruang tempat saya menyerahkan surat tilang tadi. Petugas yang saya tanya kapan biasanya sidang dimulai hanya menjawab "ditunggu saja diatas, nanti Hakimnya datang dipanggil". Ada juga yang menjawab dengan mengarahkan untuk membayar di"loket" lantai 3 tempat pengambilan SIM yang di sita.
Menyadari hal ini, saya hanya menunggu sebentar untuk sadar bahwa saya sudah memilih langkah yang salah karena ketidaktahuan saya. Saya telah "membayar" denda sebelum diputuskan oleh sidang dan saya tidak mungkin mengambil uang saya kembali untuk menunggu sidang dimulai yang entah kapan itu akan dimulai. Pukul 09.00 saya bergegas ke tempat parkir.
Saya hanya berpikir, kalau di tempat mulia pencari keadilan seperti ini saja sudah seperti ini keadaanya. Ada "petugas resmi" yang membuat "loket" pembayaran denda tilang di ruang pengadilan. Bagaimana bisa berharap akan adanya sistem hukum yang bersih dan menjamin rasa keadilan masyarakat?
Makan pagi selesai pukul 7.15. Sambil menunggu pukul 07.30 sebelum berangkat, saya bermain dengan buah hati. Mengendarai sepeda motor yang sama, saya periksa lebih dahulu apakah lampu dan kesiapan kelengkapan kendaraan. Untung hari ini jalur yang dilalui tidak terlampau padat, dan saya tiba di Pengadilan tepat pukul 8:15.
Setelah memarkirkan kendaraan dan bertanya kepada petugas pemeriksa dipintu masuk ruang kantor Pengadilan saya di arahkan ke lantai 3 tempat pengambilan SIM sepeda motor berada.
Sempat gugup karena terlambat dari jadwal yang tertera didalam surat tilang, saya mendatangi ruang dimana sudah terdapat antrian orang menyerahkan surat tilang. Tanpa banyak bertanya, saya serahkan juga surat tilang yang ada ditangan saya dan memperoleh nomor antrian 149.
Saat menyerahkan surat tilang, ada 2 orang di belakang saya yang juga menyerahkan surat tilang dengan tambahan lampiran fotocopy kartu pers dari dua nama media berbeda yang tidak terlampau saya kenal namanya. Ada perasaan aneh ketika melihat hal tersebut, namun tidak terlalu saya pusingkan.
Menunggu tidak terlalu lama, petugas dari dalam ruang sidang disebelah Ruang Prof. Oemar Senoadji memanggil nomor antrian saya. Saya serahkan nomor antrian, dan petugas meminta pembayaran denda sebesar Rp. 75.000,00. Sambil ragu saya serahkan uang sebesar Rp. 100.000,00 dan memperoleh kembali sebesar Rp.25.000,00 dan SIM saya yang sebelumnya ditahan.
Ketika saya tanyakan berapa sebenarnya besaran denda tilang resmi yang saya tahu biasanya diumumkan secara terbuka, petugas berpakaian batik warna merah dengan motif kotak-kotak menjawab " ini biasanya saja, Rp.75.000,00. kalau mau ikut sidang saya daftarkan," Begitu ujarnya.
Cukup heran juga dengan jawaban petugas berpakaian batik tersebut. Saya bertanya kepada orang disebelah saya yang juga diperlakukan sama, dan ia meminta bukti/kuitansi pembayarannya. Tanpa memperolah jawaban yang memuaskan, orang tersebut hanya meninggalkan saya dan bergegas menuju lantai 2 tempat dimana ia diperintahkan petugas untuk dapat mengambil bukti pembayarannya.
Saya bertemu kembali dengan orang ini di lantai 2 dan ia hanya bilang ia di"lempar" kembali ke lantai 3. Saya pun hanya tersenyum menyaksikan kesibukannya.
Waktu menunjukkan 08.35 dan saya masih berada dilingkungan PN Jakarta pusat. Saya kembali bertanya pada petugas berbatik yang keluar dari ruang-ruang kantor disini tentang sidang dan ruang tempat saya menyerahkan surat tilang tadi. Petugas yang saya tanya kapan biasanya sidang dimulai hanya menjawab "ditunggu saja diatas, nanti Hakimnya datang dipanggil". Ada juga yang menjawab dengan mengarahkan untuk membayar di"loket" lantai 3 tempat pengambilan SIM yang di sita.
Menyadari hal ini, saya hanya menunggu sebentar untuk sadar bahwa saya sudah memilih langkah yang salah karena ketidaktahuan saya. Saya telah "membayar" denda sebelum diputuskan oleh sidang dan saya tidak mungkin mengambil uang saya kembali untuk menunggu sidang dimulai yang entah kapan itu akan dimulai. Pukul 09.00 saya bergegas ke tempat parkir.
Saya hanya berpikir, kalau di tempat mulia pencari keadilan seperti ini saja sudah seperti ini keadaanya. Ada "petugas resmi" yang membuat "loket" pembayaran denda tilang di ruang pengadilan. Bagaimana bisa berharap akan adanya sistem hukum yang bersih dan menjamin rasa keadilan masyarakat?
Comments
Post a Comment