Skip to main content

Ribut Politik Tradisi


Siang hari Senin , (21/1) Resmi sudah rumor yang beredar mengenai mundurnya petinggi partai Nasional Demokrat. Bertempat di HT Foundation Jl. Diponegoro 29, Harry Tanoesoedibjo, Ketua Dewan Pakar bersama tiga orang jajaran pengurus pusat partai NasDem menyatakan pengunduran dirinya secara resmi dihadapan media massa nasional.  Tak pelak, pemberitaan mundurnya jajaran petinggi partai NasDem ini mengisi banyak ruang pemberitaan media nasional. Media massa nampak lupa bahwa keempat orang yang mundur dari Partai NasDem tersebut hanyalah tokoh seperti halnya tokoh-tokoh lainnya. Mereka hanyalah actor-aktor dari pelaksana ide-pemikiran politik.


Indonesia dan Politik Ketokohan

Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, politik ketokohan hampir sudah menjadi “ciri khas” perpolitikan di Indonesia. Dalam kadarnya masing-masing, politik ketokohan di Indonesia mengiringi sejarah perkembangan bangsa ini.  Lihat saja misalnya betapa senangnya literatur-literatur sejarah mengarusutamakan nama tokoh dan latar tradisionalnya ketimbang pemikiran-pemikiran dan praktek-praktek (perjuangan) politik sang tokoh.  Atau simak saja bagaimana dengan mudahnya media meributkan tokoh yang akhirnya menjadi pemimpin Republik Indonesia ini tanpa meributkan pemikiran-pemikiran kebangsaannya.

Tidak ada yang salah dengan politik ketokohan jika ia dibarengi juga dengan politik pemikiran. Politik nama besar harusnya dibarengi dengan politik pemikiran besar dan ini yang sering terlupakan dalam wacana politik di Indonesia.

Sekedar menyebut contoh, Soekarno-Hatta adalah model politik ketokohan yang paling ideal karena keduanya tidak diragukan kedalaman pemikiran kebangsaannya. Benar adanya jika organisasi dimana keduanya bernaung menokohkan mereka. Pertama karena organisasi bahkan masyarakat umum mengenal karakter pemikirannya, kedua karena organisasi percaya bahwa karakter kepemimpinan keduanya akan mampu memberi arah jalan baik bagi organisasi maupun masyarakat umum. H. Agus Salim, M.Yamin, Tan Malaka, Muhammad Roem, dan deretan pejuang pendiri republik ini adalah contoh baik bagaimana keselarasan politik ketokohan dan politik pemikiran berjalan di bangsa ini.

Politik ketokohan yang ideal juga kembali “hampir” menemukan tempatnya tatkala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin republik ini. Pemikiran-pemikiran kebangsaan yang digagas  Gus Dur membuat politik ketokohan terhadap dirinya menjadi seimbang. Hal ini jelas jauh berbeda dengan politik ketohohan seorang Megawati Soekarno Putri yang mengedepankan aspek keturunan Soekarno tanpa diimbangi dengan pemikiran kebangsaan yang otentik.

Ini juga yang terjadi tatkala, udara politik Indonesia minggu ini memanas dengan mundurnya empat orang pengurus teras Partai NasDem. Media sama sekali tidak mengajukan pertanyaan mendasar untuk mengukur seberapa pentingnya keempat tokoh tersebut mempengaruhi berjalannya ide politik Restorasi Indonesia ala Partai NasDem. Media justru menggembar-gemborkan sisi-sisi yang justru jauh dari pendidikan politik kebangsaan. Media nampak lebih fokus mempertimbangkan kemungkinan berkurangnya ekspose Partai NasDem di media nasional.


Lupa Media Massa

Rakyat tidak dibuat cerdas berpolitik dengan pemberitaan heboh mundurnya HT dari Partai NasDem. Rakyat malah semakin memperoleh basis legitimasi tentang politik transaksional dan politik berbasis uang dengan pola-pola pemberitaan heboh mundurnya HT dari Partai NasDem. HT yang masuk partai NasDem jauh setelah ide Restorasi bergema justru tampil seolah lebih penting ketimbang ide-ide restorasi yang ditelurkan oleh HT di Partai NasDem. Sama halnya dengan heboh lolosnya partai tersebut sebagai peserta pemilu 2014.

Tidak satupun media yang terlihat mendebat “kebaruan” ide restorasi ala Partai Nasdem. Grup Media Indonesia yang nota bene dimiliki oleh ketua Majelis Nasional Partai Nasdem sekalipun tampak enggan memperdebatkan isi dan otentisitas pemikiran Restorasi Indonesia. Disinilah kelupaan media massa nasional kita akan peran pentingnya dalam mengedukasi masyarakat.

Salah satu peran penting media massa sebagai instrument edukasi (Effendy, 1989) nampak semakin dilupakan oleh para pelaku industri media massa. Tayangan informasi sedemikian rupa tampil menjadi hampir bernada sama.  Perdebatan-perdebatan wacana di media massa sudah menjadi semakin langka karena aras industrialisasi yang semakin menguat tanpa diimbangi dengan idealisme profesi. Hasilnya, hanya informasi yang layak “jual” yang akan disampaikan media massa dan itu tak lain adalah informasi-informasi bombastis dan tidak mengakar.


Politisi ABG Diantara Absennya Pemikir Kebangsaan Brilian

Sering kali kita jumpai pemberitaan terkait hengkangnya tokoh-tokoh politik dari organisasi yang menaunginya. Tak lama setelah itu sering juga kita jumpai tokoh-tokoh tersebut kemudian mendirikan atau bergabung dengan organisasi penaungnya yang baru. Hal ini terus berulang dan  seolah dianggap lumrah dalam praktek politik. Lihat misalnya bagaimana pecahnya partai-partai politik pasca orde baru. Sejumlah tokoh keluar dari organisasi untuk kemudian mendirikan organisasi baru. Hal ini yang seharusnya menjadi pertanyaan penting tentang seberapa kuatnya pemikiran politik para tokoh tersebut di”politik”kan. Alih-alih bertarung pemikiran, banyak tokoh politik pasca orde baru lebih memilih mengamankan ketokohannya dengan mendirikan organisasi baru bahkan terkadang “pemodal” baru.

Jika membandingkan kondisi kepartaian dari partai-partai besar sekarang ini dengan era sebelum order baru, akan sangat kentara jurang perbedaan diantaranya. Ideologi kepartaian di era Soekarno yang demikian beragam sulit sekali kita temui diera reformasi. Pertanyaannya buat apa banyak partai berdiri kalau perbedaannya hanya dalam menyangkut hal-hal teknis dan bukan ideologis?  Mengapa aktor-aktor politik tidak berjuang saja didalam satu partai untuk memenangkan pemikiran teknisnya jika memang dasar ideologisnya masih serupa entah itu nasionalis, Pancasilais Agama (Islam) dan lain sejenisnya?  Tidak sanggupkah para politisi memperjuangkan pemikirannya? Apakah mereka belum dewasa berpolitik siap memimpin dan siap juga dipimpin?

Kondisi perpolitikan Indonesia yang sudah sedimikian ini semakin menjadi-jadi tatkala para tokoh yang cerdas dan visioner ternyata juga absen dari upaya memajukan bangsa lewat kancah pertarungan kepemimpinan. Sekelompok orang yang visioner justru hanya menjadi macan-macan kertas yang nampak enggan untuk merebut wacana kebangsaan dan memperjuangkan perbaikan nasib bangsa lewat jalur politik. Seolah mengamini kondisi carut-marutnya politik di Indonesia  mereka yang tergolong cerdas dan visioner ini justru membiarkan bangsa ini hanya dipenuhi wacana politik tanpa jiwa. Bahkan lebih dari itu, pemeo “Menjadi Guru Bangsa” seolah sudah begitu melekat dijiwai oleh para visioner brilian yang dimiliki bangsa ini. Hal ini menjadi basis legitimasi para pemikir brilian kebangsaan untuk “mundur” dari percaturan politik.

Harry Tanoesodibjo bukanlah sosok yang begitu dapat dibanggakan dalam hal pemikiran kebangsaannya. Tidak satupun karya visioner HT yang dapat dinikmati sebagai buah pikir brilian untuk mengatasi kompleksnya permasalahan bangsa ini. Betul bahwa ia adalah seorang pemimpin bisnis yang terbilang berhasil dan hal ini tidaklah dapat diragukan. Visi bisnisnya yang mampu menjadikan grup bisnisnya hingga sebesar saat ini tentu menjadi “keahlian” nyatanya. Namun demikian tentu rakyat bukanlah komoditi bisnis yang mudah “diatur” oleh seorang pebisnis apalagi seorang HT yang kita tahu memajukan bisnisnya di situasi Indonesia dimana persaingan bisnis belum murni menjadi persaingan bisnis.

Mengapa nampak begitu penting pemberitaan mundurnya HT dari Partai NasDem? Jika dilihat dari pola pemberitaan yang diangkat media massa nasional, yang menjadi fokus adalah 1) Kemungkinan berkurangnya ekspose Partai NasDem di media milik HT, 2) Berkurangnya modal partai NasDem akibat mundurnya HT, 3) Kemungkinan mundurnya gerbong HT di NasDem (benarkah HT membawa gerbong saat masuk ke NasDem?), dan yang terpenting adalah 4) Tidak sejalannya (pemikiran) HT dengan Surya Paloh, sang pendiri, yang direpresentasikan dengan golongan Tua dan Muda.

Tidak satupun media yang menginformasikan bahwa HT masuk ke partai NasDem jauh setelah perdebatan ideologis Restorasi Indonesia ala partai NasDem bergulir. Patut dicatat bahwa HT bukan termasuk orang yang ikut mendeklarasikan ormas NasDem yang menjadi cikal bakal partai NasDem (lihat : disini) . Hal ini jauh berbeda dengan tokoh lainnya seperti Syaiful Haq, Ahmad Rofiq dan Endang Tirtana yang justru terlibat dalam perdebatan ideologis yang menjadi latar pendirian Partai NasDem (lihat :disini). Anehnya, justru yang dijadikan fokus pemberitaan media adalah HT. Mengapa? Apakah karena ia dianggap cukong nya partai NasDem? Jika memang demikian, maka media dengan sengaja menggelincirkan arah pendidikan politik masyarakat kedalam kedangkalan berpikir politik.

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev