Bencana alam silih berganti merundung Indonesia. Geger bom JW. Mariot dan Ritz Carlton langsung menguap tatkala gempa melanda Jawa Barat, termasuk Jakarta. Tidak lama berselang, Sumatra Barat juga ditimpa musibah yang sama. Di beberapa tempat di Indonesia juga diberitakan diterjang gempa walaupun tidak memakan korban.
Banyak analisis dilontarkan ole berbagai kalangan. Mulai dari yang menganalisis dari sisi keilmuan (geologi,dan sejenisnya) sampai analisis berbau klenik-mistik seolah berlomba-lomba menjadi yang paling tajam analisisnya. Berbagai alasan dan hubungan sebab akibat dilontarkan untuk memperoleh pengikut atas pendapatnya.
Tidak hanya yang beralasan bahwa struktur lapisan bumi yang bergeser akibat patahan, desakan dan sejenisnya, bahkan ada yang "melihat" gempa bumi ini dari sisi yang cukup fenomenal. Menghubungkan gempa bumi dengan keterpilihan presiden yang baru.
Entah dari mana sumber alasannya, kalangan yang menghubungkan gempa dengan keterpilihan presiden ini mencoba meyakinkan khalayak dengan hubungan causatif antara keterpilihan presiden dengan bencana-bencana yang mengiringinya.Bahkan dengan sangat "buas" menganalogikan nama presiden terpilih "seolah-olah" membenarkan adanya hubungan antara gempa (bencana) dengan nama seseorang yang terpilih menjadi pemimpin di Indonesia.
Lain kalangan ilmuan, lain kalangan mistik, lain juga kalangan "agamawan". Kalangan yang terakhir ini berpendapat bahwa bencana yang melanda Indonesia merupakan "peringatan" dari empunya bumi, tentang kelalaian umat manusia. Gempa bagi kalangan ini seolah adalah pertanda bahwa apa yang disebut "qiamat" sudah mulai mendekat. Dan oleh karenanya manusia dianjurkan untuk segera bertobat.
Apapun alasan yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut patutlah dihormati sebagai bentuk kebebasan berpendapat.
Cukup menarik bagi saya adalah menelisik secara iseng, sebenarnya apa yang diinginkan oleh kalangan yang mengemukakan pendapatnya tentang gempa.
Pertama, saya coba menghubungkan alasan yang dikemukakan oleh kelompok agamawan dengan fenomena maraknya "Majelis Dzikir". Dugaan saya adalah bahwa kelompok ini berupaya untuk "mengembalikan" umat ke jalan-Nya melalui lembaga Majelis Dzikir yang sekaran bertebaran dimana-mana. Lebih dari itu, maaf, saya berpikir bahwa dengan mengikuti majelis-majelis demikian diharapkan bahwa individu-individu pesertanya semakin mantap untuk menghadapi "kiamat" (hari akhir) yang menurut pandangan pribadi saya adalah sikap pasif menerima. Padahal Allah SWT telah membekali individu-individu dalam majelis tersebut dengan akal untuk dapat memikirkan dan bersikap aktif terhadap wadah hidupnya.
Kedua, saya coba menghubungkan juga antara pendapat yang menghubungkan bencana gempa denan keterpilihan presiden dengan kondisi politik di Indonesia. Dari kenyataan bahwa kondisi politik di Indonesia yang sarat akan kepulan asap kemenyan, saya melihat bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang yang tidak puas dengan kondisi politik Indonesia namun tidak memiliki keran yang dapat menyalurkan ketidakpuasannya tersebut. Hingga akhirnya mereka mencoba menghubungan kejadian nyata dengan hal-hal yang sulit ditemukan akar pikirnya.
Ketiga, walaupun saya cukup kagum dengan penjelasan kalangan ilmuan yang berpendapat paling logis, namun saya juga heran mengapa tidak ada pendapat yang justru mencoba untuk memecahkan masalah. Paling tidak memikirkan bagaimana caranya agar masyarakat dapat tahu lebih awal akan adanya gempa, atau lebih jauh dari itu memikirkan bagaimana memanipulasi gempa agar tidak memakan korban?
Benarkah bumi sudah semakin tua? Atau manusianya yang sudah bersifat tua? (Tidak lagi mau berpikir kedepan, bereksperimen untuk memperoleh penemuan?)
Banyak analisis dilontarkan ole berbagai kalangan. Mulai dari yang menganalisis dari sisi keilmuan (geologi,dan sejenisnya) sampai analisis berbau klenik-mistik seolah berlomba-lomba menjadi yang paling tajam analisisnya. Berbagai alasan dan hubungan sebab akibat dilontarkan untuk memperoleh pengikut atas pendapatnya.
Tidak hanya yang beralasan bahwa struktur lapisan bumi yang bergeser akibat patahan, desakan dan sejenisnya, bahkan ada yang "melihat" gempa bumi ini dari sisi yang cukup fenomenal. Menghubungkan gempa bumi dengan keterpilihan presiden yang baru.
Entah dari mana sumber alasannya, kalangan yang menghubungkan gempa dengan keterpilihan presiden ini mencoba meyakinkan khalayak dengan hubungan causatif antara keterpilihan presiden dengan bencana-bencana yang mengiringinya.Bahkan dengan sangat "buas" menganalogikan nama presiden terpilih "seolah-olah" membenarkan adanya hubungan antara gempa (bencana) dengan nama seseorang yang terpilih menjadi pemimpin di Indonesia.
Lain kalangan ilmuan, lain kalangan mistik, lain juga kalangan "agamawan". Kalangan yang terakhir ini berpendapat bahwa bencana yang melanda Indonesia merupakan "peringatan" dari empunya bumi, tentang kelalaian umat manusia. Gempa bagi kalangan ini seolah adalah pertanda bahwa apa yang disebut "qiamat" sudah mulai mendekat. Dan oleh karenanya manusia dianjurkan untuk segera bertobat.
Apapun alasan yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut patutlah dihormati sebagai bentuk kebebasan berpendapat.
Cukup menarik bagi saya adalah menelisik secara iseng, sebenarnya apa yang diinginkan oleh kalangan yang mengemukakan pendapatnya tentang gempa.
Pertama, saya coba menghubungkan alasan yang dikemukakan oleh kelompok agamawan dengan fenomena maraknya "Majelis Dzikir". Dugaan saya adalah bahwa kelompok ini berupaya untuk "mengembalikan" umat ke jalan-Nya melalui lembaga Majelis Dzikir yang sekaran bertebaran dimana-mana. Lebih dari itu, maaf, saya berpikir bahwa dengan mengikuti majelis-majelis demikian diharapkan bahwa individu-individu pesertanya semakin mantap untuk menghadapi "kiamat" (hari akhir) yang menurut pandangan pribadi saya adalah sikap pasif menerima. Padahal Allah SWT telah membekali individu-individu dalam majelis tersebut dengan akal untuk dapat memikirkan dan bersikap aktif terhadap wadah hidupnya.
Kedua, saya coba menghubungkan juga antara pendapat yang menghubungkan bencana gempa denan keterpilihan presiden dengan kondisi politik di Indonesia. Dari kenyataan bahwa kondisi politik di Indonesia yang sarat akan kepulan asap kemenyan, saya melihat bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang yang tidak puas dengan kondisi politik Indonesia namun tidak memiliki keran yang dapat menyalurkan ketidakpuasannya tersebut. Hingga akhirnya mereka mencoba menghubungan kejadian nyata dengan hal-hal yang sulit ditemukan akar pikirnya.
Ketiga, walaupun saya cukup kagum dengan penjelasan kalangan ilmuan yang berpendapat paling logis, namun saya juga heran mengapa tidak ada pendapat yang justru mencoba untuk memecahkan masalah. Paling tidak memikirkan bagaimana caranya agar masyarakat dapat tahu lebih awal akan adanya gempa, atau lebih jauh dari itu memikirkan bagaimana memanipulasi gempa agar tidak memakan korban?
Benarkah bumi sudah semakin tua? Atau manusianya yang sudah bersifat tua? (Tidak lagi mau berpikir kedepan, bereksperimen untuk memperoleh penemuan?)
Comments
Post a Comment