Hampir di setiap tempat bekerja mungkin tidak cuma saya yang mendengar keluhan karyawan terhadap tempatnya bekerja. Mulai dari keluhan karena kurangnya fasilitas, kesejahteraan, prilaku manajemen bahkan mengeluh karena dipimpin oleh orang yang menurut ukuran pribadinya tidak layak untuk menjadi pemimpin. Keluhan yang demikian ini sangat mudah di dengar misalnya di kantin kantor atau tempat-tempat makan bahkan di dalam lingkungan kerja sendiri (selama tidak ada pimpinan:)).
Hal semacam ini pula sekarang ini kembali saya dengar dari rekan-rekan sejawat. "Payah..disuruh cepat-cepat tapi sana nya sendiri lambat", "Wah kalau nyari uang mah jangan disini lah", "Pelit banget sih nih kantor", dan keluhan lainnya menyeruak bersamaan dengan matinya lampu di ruangan kerja karena tiba waktu istirahat.
Sempat terpikir juga, kenapa sih mereka mengeluh tapi kok tetap masih mau bekerja setiap harinya?
Ketika mencoba menceritakan kepada beberapa kawan tentang fenomena mengeluh tersebut, ternyata saya dapati jawaban yang paling lazim adalah karena mereka yang mengeluh biasanya adalah mereka yang telah lama bekerja di perusahaan tersebut dan telah berkeluarga. Karena mereka tetap butuh hidup untuk keluarganya jugalah mereka mengeluh tapi tidak keluar dari perusahan tempat yang mereka keluhkan.
Ada benarnya memang kondisi dimana seseorang sudah memiliki tanggung jawab keluarga tidak semudah orang lajang untuk memutuskan keluar dari sebuah perusahaan ketimbang memelihara keluhan. Tidak dapat juga mereka dibilang takut menghadapi masa depan saat mereka memutuskan untuk keluar, namun juga bukan tindakan berani untuk selalu mengeluh. Pemeo bahwa sulit mencari pekerjaan baru nampak sangat kokoh berada dalam pikiran para pengeluh ini.
Indonesia sebagai pasar tenaga kerja murah dan sistem ekonomi yang kental kapitalisme ditambah sistem pendidikan yang masih sarat nilai kolonial memang secara tidak langsung "mengkondisikan" para pengeluh menjadi demikian. Takut gak bisa dapat kerja lagi & susah memulai usaha, menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja yang sadar bahwa situasi kerjanya sudah tidak nyaman dan mengeluh atas hal tersebut.
Takut tidak dapat kerja lagi kalau keluar dari perusahaan sekarang merupakan bangunan ide yang disokong oleh kenyataan bahwa sistem ketenagakerjaan Indonesia masih tidak berpihak pada pekerja, selain kenyataan bahwa terbatasnya"lapangan pekerjaan" di Indonesia. Sistem kontrak dan outsourching menjadi hal menakutkan bagi mereka yang mengeluh tatkala memikirkan untuk keluar dari pekerjaannya. Apalagi kalau dipertimbangkan dengan jumlah pengangguran yang semakin meningkat, mereka ini pastinya akan berpikir "masih bagus sudah bekerja walaupun tidak nyaman ketimbang menjadi pengangguran". Ada juga yang berpikiran "perusahaan mana yang mau menerima karyawan yang sudah berkeluarga?"
Dibalik itu semua, ada satu kenyataan yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa sistem pendidikan kita masih menganut sistem pendidikan masa kolonial dimana siswa dididik/diajar untuk dapat menjadi tenaga kerja "siap pakai" kelak di dunia industi. Sistem pendidikan kita masih mengandalkan keberhasilannya pada banyaknya lulusan yang mampu diserap oleh pasar tenaga kerja. Bukan pada lulusan yang mampu menyerap tenaga kerja. Tidak dapat dipungkiri memang bahwa sistem pendidikan ("modern") di Indonesia memang berkembang dalam alam kolonial dimana masih terbatasnya pasar tenaga kerja yang dapat mengisi kebutuhan dunia kerja saat itu. Parahnya, walau keadaan sekarang sudah berubah, sistem pendidikan kita ternyata masih belum keluar dari hal tersebut. Bahkan universitas yang seharusnya menjadi avantgarde perubahan ternyata tidak lebih stagnan berkutat pada penyiapan tenaga kerja yang siap menembus pasar tenaga kerja (murah).
Dengan kondisi yang demikian tidak jelas lagi kemana kita (sebagai tenaga kerja) harus menaruh harapan perubahan kecuali pada diri kita sendiri. Butuh keberanian yang ektra untuk memulai hal ini dari diri sendiri. Namun dengan menanamkan semangat bahwa apa yang diciptakan-Nya pasti akan memberi manfaat dan bahwa Ia telah menghamparkan alam ini untuk manusia, sebenarnya para pengeluh (termasuk saya) sudah menemukan separuh jalannya. Dan keuletan adalah pelengkapnya
Hal semacam ini pula sekarang ini kembali saya dengar dari rekan-rekan sejawat. "Payah..disuruh cepat-cepat tapi sana nya sendiri lambat", "Wah kalau nyari uang mah jangan disini lah", "Pelit banget sih nih kantor", dan keluhan lainnya menyeruak bersamaan dengan matinya lampu di ruangan kerja karena tiba waktu istirahat.
Sempat terpikir juga, kenapa sih mereka mengeluh tapi kok tetap masih mau bekerja setiap harinya?
Ketika mencoba menceritakan kepada beberapa kawan tentang fenomena mengeluh tersebut, ternyata saya dapati jawaban yang paling lazim adalah karena mereka yang mengeluh biasanya adalah mereka yang telah lama bekerja di perusahaan tersebut dan telah berkeluarga. Karena mereka tetap butuh hidup untuk keluarganya jugalah mereka mengeluh tapi tidak keluar dari perusahan tempat yang mereka keluhkan.
Ada benarnya memang kondisi dimana seseorang sudah memiliki tanggung jawab keluarga tidak semudah orang lajang untuk memutuskan keluar dari sebuah perusahaan ketimbang memelihara keluhan. Tidak dapat juga mereka dibilang takut menghadapi masa depan saat mereka memutuskan untuk keluar, namun juga bukan tindakan berani untuk selalu mengeluh. Pemeo bahwa sulit mencari pekerjaan baru nampak sangat kokoh berada dalam pikiran para pengeluh ini.
Indonesia sebagai pasar tenaga kerja murah dan sistem ekonomi yang kental kapitalisme ditambah sistem pendidikan yang masih sarat nilai kolonial memang secara tidak langsung "mengkondisikan" para pengeluh menjadi demikian. Takut gak bisa dapat kerja lagi & susah memulai usaha, menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja yang sadar bahwa situasi kerjanya sudah tidak nyaman dan mengeluh atas hal tersebut.
Takut tidak dapat kerja lagi kalau keluar dari perusahaan sekarang merupakan bangunan ide yang disokong oleh kenyataan bahwa sistem ketenagakerjaan Indonesia masih tidak berpihak pada pekerja, selain kenyataan bahwa terbatasnya"lapangan pekerjaan" di Indonesia. Sistem kontrak dan outsourching menjadi hal menakutkan bagi mereka yang mengeluh tatkala memikirkan untuk keluar dari pekerjaannya. Apalagi kalau dipertimbangkan dengan jumlah pengangguran yang semakin meningkat, mereka ini pastinya akan berpikir "masih bagus sudah bekerja walaupun tidak nyaman ketimbang menjadi pengangguran". Ada juga yang berpikiran "perusahaan mana yang mau menerima karyawan yang sudah berkeluarga?"
Dibalik itu semua, ada satu kenyataan yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa sistem pendidikan kita masih menganut sistem pendidikan masa kolonial dimana siswa dididik/diajar untuk dapat menjadi tenaga kerja "siap pakai" kelak di dunia industi. Sistem pendidikan kita masih mengandalkan keberhasilannya pada banyaknya lulusan yang mampu diserap oleh pasar tenaga kerja. Bukan pada lulusan yang mampu menyerap tenaga kerja. Tidak dapat dipungkiri memang bahwa sistem pendidikan ("modern") di Indonesia memang berkembang dalam alam kolonial dimana masih terbatasnya pasar tenaga kerja yang dapat mengisi kebutuhan dunia kerja saat itu. Parahnya, walau keadaan sekarang sudah berubah, sistem pendidikan kita ternyata masih belum keluar dari hal tersebut. Bahkan universitas yang seharusnya menjadi avantgarde perubahan ternyata tidak lebih stagnan berkutat pada penyiapan tenaga kerja yang siap menembus pasar tenaga kerja (murah).
Dengan kondisi yang demikian tidak jelas lagi kemana kita (sebagai tenaga kerja) harus menaruh harapan perubahan kecuali pada diri kita sendiri. Butuh keberanian yang ektra untuk memulai hal ini dari diri sendiri. Namun dengan menanamkan semangat bahwa apa yang diciptakan-Nya pasti akan memberi manfaat dan bahwa Ia telah menghamparkan alam ini untuk manusia, sebenarnya para pengeluh (termasuk saya) sudah menemukan separuh jalannya. Dan keuletan adalah pelengkapnya
Comments
Post a Comment