Skip to main content

SELAMATKAN FREKUENSI PUBLIK

Riuh rendah protes disampaikan oleh berbagai kelompok aktivis dari berbagai organisasi rakyat terhadap “peyalahgunaan” frekuensi publik oleh konglomerat media. Berbagai upaya dilakukan mulai dari penggalangan opini, aksi massa sampai menggugat di lembaga peradilan dilakukan agar pemerintah menindak  tegas penyalahguna frekuensi publik.  Namun demikian pemerintah masih belum melakukan tindakan berarti untuk menyelamatkan frekuensi publik.

Sejak awal tahun politik 2014 ini, suara-suara protes atas penggunaan media massa untuk kepentingan politik pemilik media terus menguat. Hal ini tentu tak mengherankan karena setidaknya ada 4 kontestan politik yang juga pemilik media.  Harry Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan yang sebelumnya sudah berkuasa Dahlan Iskan. Tidak tanggung-tanggung keempatnya digadang-gadang oleh partai masing-masing untuk menjadi kandidat RI 1 dan RI 2.

Protes dilakukan karena keempat media ini dianggap menggunakan media yang dimilikinya sebagai media kampanye.  Beberapa mata acara yang ditayangkan oleh masing-masing media menjadi subjek yang mendasari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghukum media milik para politisi yang akan bertarung di Pemilu 2014 nanti.

Terlepas dari perdebatan sengit dalam upaya mendefinisikan Frekuensi (milik/dikelola/hak) Publik dalam sistem negara “Pancasila” seperti di Indonesia, ada satu pertanyaan yang cukup penting; sedemikian berpengaruhkah tayangan media terhadap khalayak?  Hal ini karena masih terujar kekawatiran besar sebagaian kalangan terhadap pengaruh media yang digunakan politisi untuk mempengaruhi pilihan publik.


Media – Audiens dalam Saling Pengaruh

Penelitian berkenaan dengan dampak media massa kepada khalayak/audiens sudah dilakukan sejak abad lalu. Littlejohn (2009) membagi 3 paradigma penelitian media yang berkembang didunia. Paradigma pertama adalah pandangan yang meletakkan media memiliki efek yang begitu kuat, powerfull. Penelitian pada era ini ditandai dengan asumsi-asumsi bahwa audiens/khalayak bersifat pasif dan tidak kritis.

Paradigma kedua adalah paradigma yang meletakkan media memiliki minimal effect sebagaimana teori two step flow yang dikemukakan Lazarsfeld dkk (1940) dan kesimpulan penelitan Schram bahwa “there is a complex relationship between children’s television viewing and subsequent behavior”. 

Paradigma terakhir adalah yang meletakkan media memiliki “cumulative effect” terhadap audiensnya. Pada era ini terjadi pergeseran asumsi dampak media dari yang berlangsung segera, intended  menjadi dampak yang baru terasa setelah kurun waktu tertentu, accumulative.
Meletakkan media seolah memiliki peran besar dalam perubahan perilaku manusia semakin dirasa ceroboh dan jauh dari kenyataan existensi manusia. Karena itu pula penelitian-penelitian media massa perlahan mulai meninggalkan asumsi-asumsi dasar yang mengatakan bahwa audiens pasif dan menggantinya menjadi asumsi yang memandang audiens sebagai manusia aktif dan kritis.

Perkembangan ilmu-ilmu sosial yang semakin memusatkan perhatian pada manusia sebagai subjek mengiringi pandangan bahwa manusia sebagai khalayak media massa bukanlah objek yang pasif. Era jarum hipodermis (1920-1930an) yang berkembang pada kurun waktu berkembangnya media massa tradisional sudah dilampaui pada kurun waktu digital sekarang ini.

Siaran radion Orson Wales (1938) yang membuat panik banyak warga Amerika Serikat atas invasi alien mungkin hanya akan menjadi bahan tertawaan bagi pendengar Kemal-TJ di era ini. Bahkan Gobbels (1897-1945) mungkin akan gigit jari jika ia hidup diera dimana siaran propagandanya dapat dengan mudah diabaikan melalui remot.

Televisi, radio dan media massa lainnya sebagai produk budaya harusnya dilihat dari konteks saling pengaruh antara produk dan produsennya. Manusia yang menciptakan berbagai media komunikasi pasti mempengaruhi bagaimana media terbentuk dan berkembang. Begitu pula sebaliknya, kehidupan manusia juga sedikit banyak pasti akan terpengaruh dengan perkembangan media komunikasi disekitarnya.


Nalar Ekonomi dan Politik

Ramai lembaga-lembaga kritis mendorong lembaga negara untuk menindak penyalahgunaan frekuensi publik. Dalam pandangan mereka, frekuensi sebagai sumber daya yang terbatas dan vital bagi negara harusnya dikuasai negara untuk kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, “penguasaan” sebagian orang/kelompok terhadap frekuensi harus dibatasi. Lebih khusus lagi, iklan-iklan politik pemilik media atau partainya di media yang dimilikinya harus juga dibatasi.

Menelaah kritik atas penyalahgunaan frekuensi publik seperti yang sedang menggelora akhir-akhir ini, saya tertarik melihat dari sisi frekuensi sebagai sumber daya ekonomi disatu sisi, namun juga tak dapat dilepaskan sebagai sumber daya politik pada sisi lainnya.

Dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini dimana sebagian kecil orang kaya menguasai sejumlah besar sumber kesejahteraan dengan sokongan modal dari luar negeri baik secara langsung maupun tidak langsung, maka frekuensi harus dilihat sebagai sumber daya ekonomis yang diperoleh dengan pengorbanan tertentu sebelum ia menghasilkan kesejahteraan bagi pemiliknya. Pertanyaannya, apakah kebijakan pemerintah sudah mencerminkan nilai ekonomisnya frekuensi?

Dalam sistem ekonomi yang cenderung mengarah ke sistem ekonomi pasar, maka menjadi fair apabila ada pihak tertentu yang karena uangnya mempunyai hak penggunaan frekuensi yang mungkin lebih dari satu saluran. Fungsi pemerintah pada saat ini adalah menjaga agar praktek ekonomi atas frekuensi berjalan fair. Pemerintah tidak boleh memihak salah satu pemegang hak sementara menggencet pemegang hak yang lain. Hanya pasar yang “boleh” menseleksi para pemegang hak frekuensi apakah masih bisa beroperasi atau tidak.

Dengan hal yang demikian ini pemerintah “hanya” menjadi wasit dan pembuat regulasi agar frekuensi dapat dimanfaatkan untuk memajukan ekonomi negaranya. Bisa jadi orang yang memiliki uang yang begitu banyak memiliki banyak saluran frekuensi dan ini “halal”. Maka tak relevan menganalisa konglomerasi media dalam konteks ekonomi yang demikian ini. Tak lain karena segala sesuatunya ditentukan oleh pasar.

Demikian pula dalam nalar politik yang berlandaskan teori basis dan supra struktur. Menjadi hal yang lumrah apabila dalam negara/bangsa yang sistem ekonominya mengarah pada sistem ekonomi pasar, maka dalam perspektif politikpun frekuensi mencerminkan kuasa-kuasa ekonomi yang berjalan didalam masyarakat. Jangan menjadi heran bila wacana politik hanya menampilkan politik transaksional yang dipertontonkan luas di media massa. Karena memang pasar tidak berideologi selain transaksi untung-rugi.


Demokratisasi Frekuensi

Untuk kalangan yang sangat percaya bahwa manusia sebagai khalayak siaran media adalah manusia aktif, agak membingungkan manakala ada segolongan orang/kelompok yang nampak begitu khawatir dengan dampak siaran media massa yang disiarkan oleh jaringan media milik pihak tertentu. Ketakutan yang berlebihan diera dimana kontrol ada ditangan khalayak melalui remot.

Dalam sistem ekonomi dimana pemerintah sudah menentukan regulasi tarif yang dikenakan bagi setiap pihak untuk dapat memiliki hak penggunaan frekuensi, maka menjadi aneh ada segolongan orang/kelompok berteriak meminta perlindungan hak tanpa mau mengorbankan sumberdaya (baca:uang) untuk memperolehnya?

Menjadi menarik apabila ranah advokasi kalangan kritikus frekuensi adalah pada upaya demokratisasi frekuensi. Demokratisasi dalam artian yang sebenar-benarnya yaitu bahwa pemerintah harus didorong untuk mampu membuat kebijakan yang berkeadilan dalam pengaturan frekuensi.

Dalam sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini, hal ini dapat berarti bahwa pemerintah harus didorong untuk mempermudah kalangan, selain kalangan yang beruang banyak, untuk memperoleh hak penggunaan frekuensi. Masyarakat harus dipercaya memiliki kemampuan untuk mengelola frekuensi dengan caranya sendiri dan mengupayakan hal tersebut untuk kemakmuran bersama.

Mempermudah masyarakat selain bagi mereka yang punya uang seharusnya menjadi pertimbangan besar pemerintah dalam mengelola frekuensi agar dapat tercipta iklim siaran yang lebih demokratis yang tidak hanya dikuasai oleh segelintir pemilik uang.

Dengan posisi hak kepemilikan yang sama besar dengan pihak pemilik uang, masyarakat dapat mengembangkan pola siaran, konten dan hal lainnya untuk dapat sama-sama mengisi public sphere dimasyarakat. Sehingga masyarakat dapat hidup dengan wacana yang lebih seimbang.

Hal ini dapat dilakukan pemerintah misalnya dengan mengubah aturan-aturan yang selama ini hanya menitikberatkan pada tarif ekonomis frekuensi bagi penyelenggara siaran, menjadi memiliki tarif sosial. Bukan hanya bicara jangkauan pancar frekuensi yang lokal atau nasional namun juga berbicara soal keterjangkauan pengelolaan frekuensi oleh masyarakat.

Dengan demokratisasi frekuensi ini diharapkan masyarakat memiliki pilihan aktif selain mengganti saluran dari remote tatkata tak ingin mengkonsumsi siaran tertentu, namun juga dapat memencet remote untuk dengan setia menyaksikan siaran yang digemarinya.


Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev