Beberapa hari lalu (21/3) membaca artikel di website Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
“KPI Minta Partai Politik Beriklan
Kampanye di Program Siaran Yang Mendidik” . Setelah membaca keseluruhan isi
artikel intinya adalah Komisioner KPI meminta partai untuk menempatkan iklan
mereka di acara-acara; 1) Yang tidak dikenakan sanksi, 2) Sesuai P3SPS, 3)
Tidak memiliki dampak buruk bagi masyarakat. Secara kasar dapat disimpulkan
bahwa program siaran yang mendidik menurut pengertian KPI adalah program acara
yang masuk dalam 3 kriteria tersebut.
Sebelumnya ramai juga diberitakan kritik terhadap tayangan Yuk Keep Smile (YKS). Tidak hanya
kritik, namun juga pengenaan sanksi bagi tayangan tersebut. Berbagai kalangan
menganggap tayangan YKS tidak mendidik. Media massa dengan mengutip pakar
tertentu juga membangun logika bahwa tayangan YKS yang banyak berisi
joget-joget adalah tayangan tak mendidik dan tak layak bagi anak.
Didalam petisi online yang meminta tayangan YKS dihentikan
disebutkan bahwa tayangan tersebut tak mendidik karena
"… dengan kata-kata kasar, menyiksa orang (entah
itu main tebak-tebakan dengan kaki dimasukkan air es atau menyumpal tepung ke
mulut lawan), sampai dengan goyangan tidak jelas yang dilaksanakan full 1 jam
dan tidak berubah selama beberapa bulan terakhir”
Tak kurang, Seto Mulyadi Pakar Psikologi anak pun dikutip
dengan pernyataannya bahwa tayangan YKS tidak memiliki nilai edukatif. Bahkan bukan hanya dianggap tak mendidik,
tayangan YKS juga dianggap merusak moral anak bangsa menurut Amidhan, Salah
satu petinggi MUI.
Mendefinisikan Tayangan Mendidik
Bayak kalangan mendefinisikan tayangan tidak mendidik dengan
berbagai argumentasi penjelasan. Mulai dari tayangan yang penuh kekerasan,
tayangan yang berisi perendahan kemanusiaan, tayangan yang kebanyakan berisi
joget-joget, tayangan lawakan dengan menggunakan pakaian perempuan, tayangan
berbau mistis, tayangan/adegan tidak riil, tayangan rekayasa, tayangan yang
memberi contoh buruk bagi penonton, mencontohkan LGBT, sampai tayangan yang
dianggap mencontohkan sikap materialistis.
Dari sekian banyak definisi soal tayangan tidak mendidik
atau sering juga disebut tayangan “selera rendah” atau secara ekstrim
diistilahkan sebagai tayangan sampah, nampaknya masih sulit bagi kita yang
ingin memahami secara benar apa yang dimaksud tayangan mendidik. Hal ini karena
tidak serta merta lawan dari definisi negatif (tayangan tidak mendidik) dapat
digunakan sebagai penjelasan soal tayangan yang mendidik. Padahal tayangan yang
dianggap tidak mendidik sendiri memiliki banyak definiens dimasyarkat.
Pasal 3, UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 menyebutkan tujuan
penyiaran salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu maka
penyiaran diarahkan (pasal 5) untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dua
hal ini yang nampaknya menjadi titik tolak pendefinisian tayangan mendidik dan
tidak mendidik. Pertanyaannya dapatkah kita menarik pengertian umum secara langsung
dari 2 hal tersebut menjadi pengertian tayangan
mendidik? Atau tayangan mendidik adalah tayangan yang bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk meningkatkan kualitas manusia.
Mari kita lihat bagaimana pakar mendefinisikan
pendidikan. Pendidikan didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau
pengangkatan manusia muda ke taraf insani. (Driyarkara, Driyarkara Tentang
Pendidikan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1950, hlm.74.). Menurut M.J.
Langeveld “Pendidikan adalah merupakan
upaya manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa kepada kedewasaan.
Pendidikan ialah usaha menolong anak untuk melaksanakan tugastugas hidupnya,
agar bisa mandiri, akil-baliq, dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan
adalah usaha mencapai penentuan diri-susila dan tanggung jawab”.
Dengan demikian semakin jelaslah makna tayangan mendidik
sebagaimana yang selalu diinginkan oleh masyarakat. Namun demikian sampai hari ini belum ada
satupun definisi praktis atas pengertian tayangan yang mencerdaskan kehidupan
bangsa dan tayangan yang berguna untuk meningkatkan kualitas manusia.
Pertanyaan terdalamnya adalah benarkah kita dapat berharap
tayangan-tayangan di media massa dapat meningkatkan kualitas manusia dan mampu
mencerdaskan? Sedemikian hebatkah dampak tayangan yang kita harapkan dari
praktek penyiaran di Indonesia?
Manusia, Audiens
Aktif
Meletakkan media seolah memiliki peran besar dalam perubahan
perilaku manusia semakin dirasa ceroboh dan jauh dari kenyataan existensi
manusia. Karena itu pula penelitian-penelitian media massa perlahan mulai
meninggalkan asumsi-asumsi dasar yang mengatakan bahwa audiens pasif dan
menggantinya menjadi asumsi yang memandang audiens sebagai manusia aktif dan
kritis.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial yang semakin memusatkan
perhatian pada manusia sebagai subjek mengiringi pandangan bahwa manusia
sebagai khalayak media massa bukanlah objek yang pasif. Era jarum hipodermis (1920-1930an) yang
berkembang pada kurun waktu berkembangnya media massa tradisional sudah dilampaui
pada kurun waktu digital sekarang ini.
Audiens dengan mudah dapat memilih tayangan apa yang disukai
sama mudahnya dengan meninggalkan tayangan yang tidak disukainya. Agak
berlebihan jika ada asumsi yang mengatakan bahwa audiens mengharapkan dapat terdidik
dari tayangan-tayangan di media massa khususnya televisi.
Belajar dari teguran KPI terhadap tayangan Kuis Kebangsaan Acara kuis yang berisi
Tanya jawab soal pengetahuan umum sekalipun tak urung menjadi bahan kritik
karena dianggap “tidak mendidik” dan hanya mengedepankan nilai kampanye
politik. Demikian juga sinetron Cinta
Fitri yang dikatakan mengumbar airmata dan cerita yang mengada-ada karena
itu juga dianggap tidak mendidik ternyata digemari oleh tokoh bangsa yang
terkenal kecerdasannya dengan alasan melatih kecerdasan emosional.
Hal ini setidaknya memberi pemahaman bahwa belum ada satu
nilai yang sama soal tayangan yang dianggap tayangan mendidik. Apalagi jika
semua tayangan dimedia massa harus dihubungkan dengan nilai “mendidik”. Bahkan
tayangan yang jelas-jelas bertujuan untuk hiburan sekalipun harus mendidik.
Disinilah letak kesulitan yang dihadapi oleh industri penyiaran.
Belum cukup dewasa memang tayangan-tayangan ditelevisi
Indonesia diproduksi oleh produsen dalam negeri. Belum cukup dewasa dalam arti
belum cukup banyak pertimbangan produsen acara televisi sebelum mereka
memutuskan memproduksi acaranya. Sering kali pertimbangan utama produsen adalah
kemampuan acara untuk meraup iklan dengan memanipulasi “kegemaran” khalayak.
Namun demikian menimpakan semua kesalahan kepada industri menjadi
tidaklah bijak. Hal ini karena ada kewajiban lembaga-lembaga negara terkait
juga untuk mengedukasi publik untuk melek media. Jika lembaga-lembaga tersebut
bisa memberi peringatan keras kepada industri, sewajarnya lah hal tersebut sama
kerasnya dengan upaya memberdayakan khlayak menjadi tuan atas tayangan-tayangan
di media (baca: Televisi). Setidaknya
dengan jarinya, khalayak harus disadarkan bahwa mereka memiliki kuasa mutlak
atas pilihan penikmatan medianya.
(Sry)
Comments
Post a Comment