Akhirnya DPR berhasil membentuk pansus Hak Angket untuk "mempertanyakan" kasus Bank Century. Walaupun dengan pengajuan dana yang hampir sama besarnya dengan dana untuk "penyelamatan" Bank Century itu sendiri. Banyak pihak mempertanyakan arah hak angket yang digunakan anggota DPR.
Geger dalam dunia perbank-an bukan pertama kalinya terjadi di negeri ini. Kita tentu masih ingat bagaimana kelababakannya penguasa negeri ini tatkala terjadi penarikan dana secara besar-besaran melanda perbank-an nasional kita. Inilah kali pertama kita mengenal apa yang kini disebut LPS. Rush yang terjadi pada hampir semua bank di negeri ini pada masa itu membuat panik pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan "luar biasa" yang dikenal dengan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia. Pemerintah mengucurkan dana untuk "menyelamatkan" perbank-an kita saat itu.
Bank-bank yang sebelumnya banyak berdiri, pada saat rush terjadi dipaksa untuk berada ditelan oleh bank lain yang lebih besar. Waktu itu kita mengenal istilah BBO (bank beku operasi), BKO untuk bank yang dibantu operasinya (suntikan dana) oleh pemerintah dan pemodal (penambahan modal) serta merger perbank-an.
Buah dari geger perbankan ini adalah penyatuan bank-bank yang dipertimbangkan masih dapat sehat dengan bantuan sejumlah tambahan dana dan pengambil alihan operasional perbankan oleh pemerintah. Singkatnya, geger perbankan ini telah "memangsa" bank-bank kecil yang dulu pernah ada di Indonesia.
Dari geger perbankan ini kita dapat belajar bahwa sampai kapanpun akan terus ada situasi saling memangsa antar kekuatan kapital didalam daur hidupnya. Untuk kasus geger perbankan di Indonesia sendiri, terdapat situasi khusus dimana yang memangsa bank-bank kecil tidak lah langsung bank dengan modal besar, melainkan dengan adanya campur tangan pemerintah. Walaupun pada akhirnya tetap saja pemerintah menyerahkan bank-bank yang telah dimangsanya kepada pemilik modal besar yang telah berkolaborasi dengannya.
Sedikit menukil tulisan klasik Marx tentang Imperialisme, inilah situasi yang ia namakan macan kertas kapitalisme. Kapitalisme uang yang menggunakan bank sebagai mediumnya sudah sejak lama ditandaskan oleh Marx bahwa mengandung penghancuran dari dalam dirinya sendiri. Kapitalisme uang yang liat dan tak berwajah inilah yang sejak dari dahulu diprediksi Marx akan selalu berada dalam kegentingan kehancurannya.
Namun karena liatnya juga, ternyata kapitalisme yang demikian ini dapat "menyelamatkan" dirinya. Ini terbukti dengan kembali tumbuhnya bank-bank swasta di Indonesia, pasca geger perbankan sebelumnya.
Kini masyarakat Indonesia kembali dihadapi oleh geger perbankan dengan kasus Bank Century yang berawal dari gagal kliringnya sejumlah besar dana di bank tersebut. Alih-alih memangsa Century, pemerintah malah memberi makan bagi pengelola bank ini dengan pengucuran 6,7 Triliyun rupiah. Hal ini cukup nyata berbeda dengan geger pertama dimana geger terjadi pada hampir seluruh bank di Indonesia. Pada geger kali ini, yang dilanda hanyalah sebuah bank swasta yang sebenarnya belum cukup lama berdiri di Indonesia. Namun entah karena apa, pemerintah justru memilih untuk menyelamatkan bank ini dengan kucuran dana yang jumlahnya melebihi bantuan untuk bencana maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kini lembaga legislatif sedang mencoba unjuk gigi dengan mengajukan hak Angket untuk mempertanyakan kebijakan "penyelamatan" bank Century. Dapat diduga, hal ini sangat kecil kemungkinannya adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Menilik dari anggaran yang diajukan oleh pansusnya saja sudah dapat diduga bahwa hak angket DPR tidak lain adalah upaya segelintir orang berdasi yang mencoba mencari peruntungan darinya. Belum lagi kalau melihat bahwa masih cukup jauh dampak yang dapat diterima rakyat pun apabila hak angket ini dapat berujung pada terbuktinya kesalahan kebijakan pemerintah saat itu. Hampir dapat dipastikan bahwa hak angket ini adalah salah satu upaya untuk mendongkrak isi pundi-pundi partai setelah jor-joran dalam maaa kampanye sebelumnya. Walaupun berujung pada pemakzulan sekalipun, rakyat biasa masihlah cukup jauh untuk dapat menikmati hasil dari hak angket ini. Terdengar pesimis memang. Namun itulah kenyataan dimana penguasa sebagai representasi kapitalisme birokrat memerintah dengan caranya sendiri agar dapat memupuk pundi-pundi yang dimilikinya.
Walau terdengar pesimis, namun ada hal positif yang dapat rakyat Indonesia pelajari tentang politik di Indonesia. Rakyat Indonesia dapat lebih cerdas lagi nantinya dalam menentukan siapa yang dapat diberikan kuasa untuk mewakilinya di lembaga pemerintahan.
Geger dalam dunia perbank-an bukan pertama kalinya terjadi di negeri ini. Kita tentu masih ingat bagaimana kelababakannya penguasa negeri ini tatkala terjadi penarikan dana secara besar-besaran melanda perbank-an nasional kita. Inilah kali pertama kita mengenal apa yang kini disebut LPS. Rush yang terjadi pada hampir semua bank di negeri ini pada masa itu membuat panik pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan "luar biasa" yang dikenal dengan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia. Pemerintah mengucurkan dana untuk "menyelamatkan" perbank-an kita saat itu.
Bank-bank yang sebelumnya banyak berdiri, pada saat rush terjadi dipaksa untuk berada ditelan oleh bank lain yang lebih besar. Waktu itu kita mengenal istilah BBO (bank beku operasi), BKO untuk bank yang dibantu operasinya (suntikan dana) oleh pemerintah dan pemodal (penambahan modal) serta merger perbank-an.
Buah dari geger perbankan ini adalah penyatuan bank-bank yang dipertimbangkan masih dapat sehat dengan bantuan sejumlah tambahan dana dan pengambil alihan operasional perbankan oleh pemerintah. Singkatnya, geger perbankan ini telah "memangsa" bank-bank kecil yang dulu pernah ada di Indonesia.
Dari geger perbankan ini kita dapat belajar bahwa sampai kapanpun akan terus ada situasi saling memangsa antar kekuatan kapital didalam daur hidupnya. Untuk kasus geger perbankan di Indonesia sendiri, terdapat situasi khusus dimana yang memangsa bank-bank kecil tidak lah langsung bank dengan modal besar, melainkan dengan adanya campur tangan pemerintah. Walaupun pada akhirnya tetap saja pemerintah menyerahkan bank-bank yang telah dimangsanya kepada pemilik modal besar yang telah berkolaborasi dengannya.
Sedikit menukil tulisan klasik Marx tentang Imperialisme, inilah situasi yang ia namakan macan kertas kapitalisme. Kapitalisme uang yang menggunakan bank sebagai mediumnya sudah sejak lama ditandaskan oleh Marx bahwa mengandung penghancuran dari dalam dirinya sendiri. Kapitalisme uang yang liat dan tak berwajah inilah yang sejak dari dahulu diprediksi Marx akan selalu berada dalam kegentingan kehancurannya.
Namun karena liatnya juga, ternyata kapitalisme yang demikian ini dapat "menyelamatkan" dirinya. Ini terbukti dengan kembali tumbuhnya bank-bank swasta di Indonesia, pasca geger perbankan sebelumnya.
Kini masyarakat Indonesia kembali dihadapi oleh geger perbankan dengan kasus Bank Century yang berawal dari gagal kliringnya sejumlah besar dana di bank tersebut. Alih-alih memangsa Century, pemerintah malah memberi makan bagi pengelola bank ini dengan pengucuran 6,7 Triliyun rupiah. Hal ini cukup nyata berbeda dengan geger pertama dimana geger terjadi pada hampir seluruh bank di Indonesia. Pada geger kali ini, yang dilanda hanyalah sebuah bank swasta yang sebenarnya belum cukup lama berdiri di Indonesia. Namun entah karena apa, pemerintah justru memilih untuk menyelamatkan bank ini dengan kucuran dana yang jumlahnya melebihi bantuan untuk bencana maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kini lembaga legislatif sedang mencoba unjuk gigi dengan mengajukan hak Angket untuk mempertanyakan kebijakan "penyelamatan" bank Century. Dapat diduga, hal ini sangat kecil kemungkinannya adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Menilik dari anggaran yang diajukan oleh pansusnya saja sudah dapat diduga bahwa hak angket DPR tidak lain adalah upaya segelintir orang berdasi yang mencoba mencari peruntungan darinya. Belum lagi kalau melihat bahwa masih cukup jauh dampak yang dapat diterima rakyat pun apabila hak angket ini dapat berujung pada terbuktinya kesalahan kebijakan pemerintah saat itu. Hampir dapat dipastikan bahwa hak angket ini adalah salah satu upaya untuk mendongkrak isi pundi-pundi partai setelah jor-joran dalam maaa kampanye sebelumnya. Walaupun berujung pada pemakzulan sekalipun, rakyat biasa masihlah cukup jauh untuk dapat menikmati hasil dari hak angket ini. Terdengar pesimis memang. Namun itulah kenyataan dimana penguasa sebagai representasi kapitalisme birokrat memerintah dengan caranya sendiri agar dapat memupuk pundi-pundi yang dimilikinya.
Walau terdengar pesimis, namun ada hal positif yang dapat rakyat Indonesia pelajari tentang politik di Indonesia. Rakyat Indonesia dapat lebih cerdas lagi nantinya dalam menentukan siapa yang dapat diberikan kuasa untuk mewakilinya di lembaga pemerintahan.
Comments
Post a Comment