Hari ini diperingati oleh seluruh bangsa di dunia sebagai peringatan hari Hak Asasi Manusia. Hari dimana terjadi peristiwa penandatanganan perjanjian antar bangsa dan deklarasi bersama tentang hak-hak manusia yang harus dilindungi, dipromosikan dan dipenuhi. Karena yang menandatangani adalah wakil dari negara-negara, maka yang berjanji untuk untuk melindungi, mempromosikan termasuk memenuhi Hak Asasi Manusia adalah negara.
Kita patut "berbangga" karena komitmen negara terhadap HAM telah dibuktikan dengan "luar biasa" dengan keluarnya UU NO.39 Tahun 1999. Peraturan tersebut dengan sangat tegas menyatakan keberpihakkannya terhadap HAM. Peraturan tersebut bahkan mengatur juga tentang "pengadilan HAM" yang tidak diatur dalam DUHAM.
Seorang koruptor yang dengan jelas-jelas membuat bangkrut negara yang kemudian ditangkap paksa oleh pihak berwajib berteriak lantang bahwa negara telah melanggar HAM-nya. Korban penggusuran demi pembangunan juga berteriak bahwa negara telah melanggar HAM-nya. Sama-sama teriak, namun yang didengar oleh negara adalah teriakan para koruptor. Mengapa? Karena koruptor dapat menggunakan kalangan profesional untuk menggaungkan suaranya. Beda halnya dengan korban penggusuran.
Pelanggaran HAM baru bisa bersuara kalau yang membunyikannya adalah kalangan "profesional" yang menurut aturan formal memang memiliki kuasa untuk hal tersebut. Rakyat biasa selalu dianggap tidak pernah tahu tentang HAM sehingga laporan dari mereka pun hanya berakhir di gudang-gudang penyimpanan kertas. Demikian wajah perlindungan, promosi dan pemenuhan HAM oleh negara Indonesia saat ini.
Kalau ada maling ayam yang diperlakukan dengan keras baik secara fisik maupun mental didalam proses pemeriksaan oleh pihak berwajib, itu bukan pelanggaran HAM. Namun kalau ada orang kaya maupun koruptor yang ditangkap tanpa surat surat formal dan mereka menyewa kalangan profesional untuk menyuarakan penangkapan sewenang-wenang itu, itu baru pelanggaran HAM.Jelaslah bahwa hingga hari ini, permasalahan HAM hanya berada diwilayah formalitas dimana yang dapat diakui suaranya hanya beraasal dari satu kalangan tertentu semata.
Entah dengan alasan apa, mekanisme pelaporan individual yang diakui oleh instrumen HAM internasional justru tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum di Indonesia. Padahal, seumpama saja semakin banyak kalangan masyarakat yang dapat diakui suaranya didalam mekanisme pelaporan individual ini, akan banyak sekali contoh praktek pelanggaran HAM yang telah dilakukan negara terhadap rakyatnya. Kalau saja Imron, Sutandi, Sangidu, Subhan atau lainnya dapat diakui pelaporannya atau bahkan ditindak lanjuti, maka niscaya akan banyak sekali kerja yang harus dilakukan oleh KOMNAS HAM di Indonesia ini.
Kita patut "berbangga" karena komitmen negara terhadap HAM telah dibuktikan dengan "luar biasa" dengan keluarnya UU NO.39 Tahun 1999. Peraturan tersebut dengan sangat tegas menyatakan keberpihakkannya terhadap HAM. Peraturan tersebut bahkan mengatur juga tentang "pengadilan HAM" yang tidak diatur dalam DUHAM.
Seorang koruptor yang dengan jelas-jelas membuat bangkrut negara yang kemudian ditangkap paksa oleh pihak berwajib berteriak lantang bahwa negara telah melanggar HAM-nya. Korban penggusuran demi pembangunan juga berteriak bahwa negara telah melanggar HAM-nya. Sama-sama teriak, namun yang didengar oleh negara adalah teriakan para koruptor. Mengapa? Karena koruptor dapat menggunakan kalangan profesional untuk menggaungkan suaranya. Beda halnya dengan korban penggusuran.
Pelanggaran HAM baru bisa bersuara kalau yang membunyikannya adalah kalangan "profesional" yang menurut aturan formal memang memiliki kuasa untuk hal tersebut. Rakyat biasa selalu dianggap tidak pernah tahu tentang HAM sehingga laporan dari mereka pun hanya berakhir di gudang-gudang penyimpanan kertas. Demikian wajah perlindungan, promosi dan pemenuhan HAM oleh negara Indonesia saat ini.
Kalau ada maling ayam yang diperlakukan dengan keras baik secara fisik maupun mental didalam proses pemeriksaan oleh pihak berwajib, itu bukan pelanggaran HAM. Namun kalau ada orang kaya maupun koruptor yang ditangkap tanpa surat surat formal dan mereka menyewa kalangan profesional untuk menyuarakan penangkapan sewenang-wenang itu, itu baru pelanggaran HAM.Jelaslah bahwa hingga hari ini, permasalahan HAM hanya berada diwilayah formalitas dimana yang dapat diakui suaranya hanya beraasal dari satu kalangan tertentu semata.
Entah dengan alasan apa, mekanisme pelaporan individual yang diakui oleh instrumen HAM internasional justru tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum di Indonesia. Padahal, seumpama saja semakin banyak kalangan masyarakat yang dapat diakui suaranya didalam mekanisme pelaporan individual ini, akan banyak sekali contoh praktek pelanggaran HAM yang telah dilakukan negara terhadap rakyatnya. Kalau saja Imron, Sutandi, Sangidu, Subhan atau lainnya dapat diakui pelaporannya atau bahkan ditindak lanjuti, maka niscaya akan banyak sekali kerja yang harus dilakukan oleh KOMNAS HAM di Indonesia ini.
Comments
Post a Comment