Menjelang peringatan hari anti korupsi sedunia, Indonesia di gegerkan akan rencana penggalangan aksi massa besar-besaran di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta. Tak pelak, penguasa negeri inipun merasa harus "ikut" sibuk dengan adanya rencana yang demikian. Di isukan tentang adanya pembonceng, akan terjadinya kerusuhan dan berbagai isu miring lainnya, nyatanya aksi massa ini berjalan cukup lancar. Walaupun sempat terjadi kekisruhan dalam aksi yang dilaksanakan sejumlah kelompok di Makassar.
Di Jakarta sendiri, aksi memperingati hari anti korupsi sedunia ini dipusatkan di beberapa titik sentral pemerintahan seperti Bundaran HI, Istana, bahkan sampai di gedung KPK. Walau sempat diguyur hujan, aksi yang sudah direncanakan secara matang ini tetap berhasil dilaksanakan. Isu-isu miring terkait aksi ini, yang sempat digelotorkan bahkan oleh penguasa negeri, terbukti hanya isapan jempol belaka. Tidak ada kerusuhan, tidak ada tunggang-menunggang, tidak ada yang mengarah pada penurunan kekuasaan (baca:pemakzulan).
Bisa dikatakan bahwa perencanan dan pelaksanaan aksi ini cukup berhasil menarik perhatian publik tidak hanya di Indonesia. Hampir seluruh kalangan di Indonesia membicarakan tentang aksi peringatan hari anti korupsi ini. Termasuk digedung-gedung perkantoran, oleh para kalangan berparfum.
Entah karena kurangnya sosialisasi atau apa, namun beberapa kalangan khususnya yang berkantor di gedung-gedung bertingkat di sekitaran lokasi aksi, mencibir aksi ini sebagai aksi bayaran. Termasuk di tempat saya bekerja sekarang.
Beberapa kawan sekerja mencemooh bahwa aksi kali ini tidak ada bedanya dengan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh kalangan lain, yang menurut mereka adalah aksi bayaran. Bahkan ada beberapa orang yang dengan sangat meyakinkan mengatakan bahwa ada pengalaman dimana pembantu dirumahnya pun pernah dibayar pihak lain untuk ikut serta dalam aksi massa.
Bagi saya yang pernah juga terlibat dalam aktivitas jalanan semacam aksi peringatan hari anti korupsi, pernyataan kawan sekantor yang demikian sangat menyakitkan hati. Miris rasanya kalau saya berada dalam posisi orang yang turut dalam aksi tersebut. Namun karena pada saat aksi dilaksanakan saya tidak berada didalam barisan, saya juga tidak bisa berkata apa-apa selain hanya bisa berkata "belum tentu".
Ada perasaan kesal dalam diri saya mendengar cemoohan orang-orang necis terhadap aksi-aksi dijalanan. Ada pula terbersit keinginan untuk beradu argumen dengan mereka yang dengan "sotoy" nya mengatakan bahwa aksi dijalanan selalu bayaran. Entah karena idealisme yang masih belum luntur, tidak senang rasanya saya mendengar cemoohan yang demikian memerahkan telinga.
Walau bagaimanapun tidak bisa juga saya salahkan mereka. Mereka adalah orang-orang yang belum terbangun dari tidur lelapnya dan impian tentang akan datangnya perubahan sebagai hadiah. Mereka adalah orang-orang yang tidak tersentuh oleh pelajaran tentang pentingnya solidaritas dan soliditas massa dan kepemimpinan sebagai alat perjuangan untuk perubahan. Mereka adalah orang yang seolah beda dunia dengan para aktivis sosial.
Hal demikian ini juga harus diakui sebagai andil dari kurang membuminya "bahasa" yang digunakan para aktivis sosial untuk dapat dipahami oleh berbagai kalangan. Namun yang paling pasti adalah mereka butuh kepemimpinan sosial yang dapat menerjemahkan bahasa "aktivis" dengan bahasa keseharian mereka.
Saya tidak senang jika ada demonstrasi yang dikatakan orang lain sebagai demo bayaran, sama seperti tidak senangnya saya pada pada selubung yang memperangkap "profesional". Selama isu yang diusung adalah isu yang menyangkut kepentingan rakyat banyak saya sangat yakin tidak ada satu orangpun yang dapat membayar jiwa-jiwa yang turut menyuarakan dirinya didalam aksi massa.
Di Jakarta sendiri, aksi memperingati hari anti korupsi sedunia ini dipusatkan di beberapa titik sentral pemerintahan seperti Bundaran HI, Istana, bahkan sampai di gedung KPK. Walau sempat diguyur hujan, aksi yang sudah direncanakan secara matang ini tetap berhasil dilaksanakan. Isu-isu miring terkait aksi ini, yang sempat digelotorkan bahkan oleh penguasa negeri, terbukti hanya isapan jempol belaka. Tidak ada kerusuhan, tidak ada tunggang-menunggang, tidak ada yang mengarah pada penurunan kekuasaan (baca:pemakzulan).
Bisa dikatakan bahwa perencanan dan pelaksanaan aksi ini cukup berhasil menarik perhatian publik tidak hanya di Indonesia. Hampir seluruh kalangan di Indonesia membicarakan tentang aksi peringatan hari anti korupsi ini. Termasuk digedung-gedung perkantoran, oleh para kalangan berparfum.
Entah karena kurangnya sosialisasi atau apa, namun beberapa kalangan khususnya yang berkantor di gedung-gedung bertingkat di sekitaran lokasi aksi, mencibir aksi ini sebagai aksi bayaran. Termasuk di tempat saya bekerja sekarang.
Beberapa kawan sekerja mencemooh bahwa aksi kali ini tidak ada bedanya dengan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh kalangan lain, yang menurut mereka adalah aksi bayaran. Bahkan ada beberapa orang yang dengan sangat meyakinkan mengatakan bahwa ada pengalaman dimana pembantu dirumahnya pun pernah dibayar pihak lain untuk ikut serta dalam aksi massa.
Bagi saya yang pernah juga terlibat dalam aktivitas jalanan semacam aksi peringatan hari anti korupsi, pernyataan kawan sekantor yang demikian sangat menyakitkan hati. Miris rasanya kalau saya berada dalam posisi orang yang turut dalam aksi tersebut. Namun karena pada saat aksi dilaksanakan saya tidak berada didalam barisan, saya juga tidak bisa berkata apa-apa selain hanya bisa berkata "belum tentu".
Ada perasaan kesal dalam diri saya mendengar cemoohan orang-orang necis terhadap aksi-aksi dijalanan. Ada pula terbersit keinginan untuk beradu argumen dengan mereka yang dengan "sotoy" nya mengatakan bahwa aksi dijalanan selalu bayaran. Entah karena idealisme yang masih belum luntur, tidak senang rasanya saya mendengar cemoohan yang demikian memerahkan telinga.
Walau bagaimanapun tidak bisa juga saya salahkan mereka. Mereka adalah orang-orang yang belum terbangun dari tidur lelapnya dan impian tentang akan datangnya perubahan sebagai hadiah. Mereka adalah orang-orang yang tidak tersentuh oleh pelajaran tentang pentingnya solidaritas dan soliditas massa dan kepemimpinan sebagai alat perjuangan untuk perubahan. Mereka adalah orang yang seolah beda dunia dengan para aktivis sosial.
Hal demikian ini juga harus diakui sebagai andil dari kurang membuminya "bahasa" yang digunakan para aktivis sosial untuk dapat dipahami oleh berbagai kalangan. Namun yang paling pasti adalah mereka butuh kepemimpinan sosial yang dapat menerjemahkan bahasa "aktivis" dengan bahasa keseharian mereka.
Saya tidak senang jika ada demonstrasi yang dikatakan orang lain sebagai demo bayaran, sama seperti tidak senangnya saya pada pada selubung yang memperangkap "profesional". Selama isu yang diusung adalah isu yang menyangkut kepentingan rakyat banyak saya sangat yakin tidak ada satu orangpun yang dapat membayar jiwa-jiwa yang turut menyuarakan dirinya didalam aksi massa.
Comments
Post a Comment