Skip to main content

HUKUMAN TERBERAT TIDAK HARUS HUKUMAN MATI

Hari ini membaca berita di kompas.com tentang hukuman bagi pelaku pornografi anak. Menjadi menarik bahwa hukuman dijatuhkan kepada terpidana karena ia didakwa melakukan tindakan keji "pelecehan sexual" dengan memproduksi dan menyebarkan pornografi anak.

Dari hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana, terlihat betapa seriusnya pemerintah negara bagian Indiana khususnya dalam memandang persoalan perlindungan bagi warganya khususnya terhadap mereka yang rentan. Bahkan pihak berwajib memasukan penyelidikan kasus ini sebagai "kasus paling penting". Keseriusan ini juga terlihat dari putusan hukuman berupa 315 tahun penjara padahal akan sulit mendapatkan manusia yang dapat terus hidup hingga usia bahkan diatas 90 tahun saja. Pemerintah Indiana juga memasukkan pelaku kejahatan pornografi ini dalam pelanggaran hukum paling".


Mencermati kasus ini, yang cukup menarik perhatian adalah bahwa pemerintah tidak menjatuhkan hukuman Mati sebagai hukuman terberat kepada pelaku kejahatan yang dianggap serius. Hal ini sangat sejalan dengan nilai dasar Hak Asasi Manusia yang telah sejak lama disepakati negara-negara di dunia. Cara pandang penegakan hukum yang juga merupakan refleksi atas cara pandang masyarakatnya yang patut diacungkan jempol.

Penegak hukum sangat sadar bahwa kejahatan yang dilakukan terpidana adalah kejahatan berat. Namun demikin bukan berarti negara dapat, dengan kekuasaan yang dimilikinya, memutuskan bahwa tidak ada kemungkinan perbaikan diri dari pelaku kejahatan dengan cara menghabisi hak hidup si pelaku kejahatan.


INDONESIA: HUKUMAN MATI DITENGAH PERSIMPANGAN


Sudah sejak beberapa tahun belakangan ini berbagai upaya dilakukan aktivis HAM untuk mendorong negara menghapuskan hukuman mati. Mulai dari kampanye, loby dan berbagai aktivitas konstitusional dan parlementer diupayakan agar pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dari peraturan hukumnya.

Hal ini menghadapi tantangan tatkala berhadapan dengan argumentasi-argumentasi perlunya penerapan hukuman yang berat pada kasus-kasus tertentu yang dianggap serius yang berdampak buruk bagi kemanusiaan. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa hukuman yang layak bagi pelaku kejahatan berat adalah hukuman mati.

Sebut saja misalnya, masih banyak yang menganggap bahwa hukuman yang layak bagi seorang yang didakwa membunuh adalah dengan hukuman mati. Tidak sedikit juga yang dengan geramnya beranggapan bahwa hukuman yang pantas bagi Teroris (walaupun saya kurang sependapat dengan labelisasi ini) terutama yang telah melakukan pem-bom-an adalah hukuman mati. Bahkan sering juga kita dengar pendapat-pendapat sebagian pemuka masyarakat tentang perlunya hukuman mati bagi koruptor.

Siapapun pasti geram melihat "teroris" yang meledakkan bom dan membunuh banyak orang dan merasa hukuman yang pantas bagi teroris adalah hukuman mati. Setiap kita pasti akan sangat marah jika salah satu anggota keluarga kita menjadi korban kejahatan
dan merasa hukuman yang layak bagi pelaku adalah hukuman mati. Karena geramnya juga sebagaian orang merasa bahwa hukuman yang tepat bagi koruptor adalah hukuman mati.

Disadari atau tidak, pandangan bahwa hukuman mati perlu ditegakkan untuk pelaku kejahatan bersandar pada ajaran-ajaran dogmatis yang disokong oleh kurangnya pemahaman HAM akibat tidak dimasukkannya materi pelajaran HAM di dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Hukuman sebagai alat balas dendam diperhalus dengan berbagai istilah yang pada intinya sebenarnya sama. Walaupun jargon yang sangat kuat didengungkan bahwa hukuman adalah untuk menyadarkan pelaku kejahatan agar memperbaiki diri, namun spirit balas dendam masih bercokol didalam jargon tersebut.

Hingga saat ini, hukuman mati belum benar-benar dihapuskan dalam aturan-aturan dasar hukum di Indonesia. Masih banyak pemikiran yang membenarkan perlunya hukuman mati sebagai hukuman luar biasa yang perlu dijatuhkan pada pelaku kejahatan luar biasa.


HUKUMAN MATI BUKAN TANDA KESERIUSAN


Merujuk pada hukuman 315 tahun yang dijatuhkan pengadilan Indiana, seharusnya Indonesia dapat memperoleh pelajaran serius betapa tingkat keseriusan hukuman tidak harus berupa hukuman mati. Dengan hukuman penjara dalam waktu yang demikian lama hampir dapat dipastikan setiap orang yang membaca akan melihat betapa seriusnya kejahatan yang dilakukan oleh terpidana.

Ukuran 315 tahun atau 100 tahun atau 90 tahun di penjara memang sangat relatif. Namun inti dari hukuman ini adalah tidak mudah bagi terpidana kejahatan yang dianggap serius untuk dapat bebas dari jeratan hukum. Indonesia nampaknya boleh mempertimbangkan untuk memberlakukan hukuman yang hampir serupa dengan tambahan tidak mudahnya pemerintah memberi keringanan-keringanan hukum untuk pelaku kejahatan yang dianggap serius.

Beberapa waktu lalu, sempat juga terwacanakan hukuman pemiskinan dan kerja sosial bagi pelaku korupsi. Hal ini juga menarik dipelajari apalagi juga dikaitkan dengan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan hukuman terhadap pelaku pem-bom-an, pembunuhan terencana dan lainnya?

Ide bahwa hukuman mati tidak lagi menjadi ukuran keseriusan penghukuman sudah saatnya didukung dan di wacanakan lebih besar.

Manusia pasti ada saatnya akan berubah, hanya tuhan sebagai pemiliknya yang berhak mencabut nyawa yang dimilikinya.


www.belajarmatahari.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev