Dalam satu kesempatan ngobrol santai dengan seorang kawan yang aktivis penguatan masyarakat, kawan saya mengatakan bahwa salah satu ukuran peradaban adalah WC. Hal ini katanya diungkapkan oleh sebuah lembaga sosial internasional yang sedang menjalankan programnya di Indonesia. Terbahak ketika pertama kali mendengar hal ini. Namun ternyata ujaran kawan yang aktivis ini justeru menjadi kuman dikepala saya.
Sambil terus ngobrol santai, terpikir juga oleh saya kebenaran akan hal tersebut. Saat manusia dalam tahapan perkembangan hidup yang paling sederhana, akan sulit diketemukan WC pastinya. Namun terbersit juga keraguan, bagaimana halnya pada masa manusia pertama kali mengenal penggolongan sosial? Apakah golongan yang “tinggi” juga tidak mengenal WC? Keraguan ini dijawab sendiri dengan mengingat kembali tentang kehidupan di kampung halaman orang tua saya sendiri. Tidak semua rumah memiliki WC.
Dari obrolan santai itu lantas terpikir oleh saya lantas kenapa tidak menggunakan sampah? Sampah juga, menurut saya bisa juga menjadi ukuran peradaban. Sampah yang dihasilkan aktivitas masyarakat sederhana misalnya hanya berupa sampah-sampah sisa makanan atau alat makan. Sampahnya pun hanya tertinggal di daratan dimana ia berada. Hal ini jelas sangat berbeda jauh dengan masyarakat modern dimana sampahnya pun sudah tidak lagi hanya tersisa di muka bumi. Bahkan di angkasa sekalipun sudah banyak sekali sampah yang dihasilkannya. Misalnya Uni Sovyet (dulu) dan Amerika yang meninggalkan bangkai pesawat antariksanya di angkasa.
Kemudian pikiran iseng saya pun berkelana memperhatikan sampah-sampah yang ada di hadapan saya. Mulai dari sampah sisa-sisa makanan, kertas, daun-daunan, sampai pada sampah plastik pembungkus dan bekas mainan anak.
Memperhatikan sampah sisa makanan yang menarik buat saya adalah sisa-sisa minyak yang menempel. Sejak kapan manusia modern mulai menggunakan minyak untuk memasak makanannya. Tentunya alat masak pun menyesuaikan dengan bahan makanan yang akan dimakannya. Darisini saya menyimpulkan ternyata minyak makan juga adalah penanda peradaban. Tapi kemudian pikiran saya terganggu, bagaimana kalau sisa makanannya adalah makanan yang dibakar/panggang? Di masa kini masih dan banyak juga makanan yang diolah dengan cara dibakar/panggang. Apakah ini tanda kemunduran? Saya lewati dulu pikiran itu.
Saya kemudian memperhatikan sampah kertas pembungkus. Sejak kapan masyarakat menggunakan kertas sebagai alat pembungkus makanan? Kalau kertas dikenal sejak masyarakat sejarah, berarti penggunaan kertas sebagai bahan pembungkus mungkin juga mengiringi peradaban masa manusia sejak saat itu hingga sekarang. Yang mengganggu pikiran adalah seberapa banyak pohon yang telah ditebang untuk menghasilkan kertas-kertas yang kemudian teronggok menjadi sampah ini?
Belum cukup terkagum dengan sampah kertas sebagai titik pijak peradaban, saya kemudian memperhatikan sampah plastik. Ini sampah yang merusak, tidak mudah di daur ulang. Saya pun bertanya-tanya, mulai kapan plastik digunakan sebagai peralatan didalam kehidupaan manusia? Peradaban bagaimanakah yang mengembangkan sampah yang merusak bumi begitu besar ini? Terencanakah? Atau secara tidak sengaja ditemukan?
Sambil terus ngobrol santai, terpikir juga oleh saya kebenaran akan hal tersebut. Saat manusia dalam tahapan perkembangan hidup yang paling sederhana, akan sulit diketemukan WC pastinya. Namun terbersit juga keraguan, bagaimana halnya pada masa manusia pertama kali mengenal penggolongan sosial? Apakah golongan yang “tinggi” juga tidak mengenal WC? Keraguan ini dijawab sendiri dengan mengingat kembali tentang kehidupan di kampung halaman orang tua saya sendiri. Tidak semua rumah memiliki WC.
Dari obrolan santai itu lantas terpikir oleh saya lantas kenapa tidak menggunakan sampah? Sampah juga, menurut saya bisa juga menjadi ukuran peradaban. Sampah yang dihasilkan aktivitas masyarakat sederhana misalnya hanya berupa sampah-sampah sisa makanan atau alat makan. Sampahnya pun hanya tertinggal di daratan dimana ia berada. Hal ini jelas sangat berbeda jauh dengan masyarakat modern dimana sampahnya pun sudah tidak lagi hanya tersisa di muka bumi. Bahkan di angkasa sekalipun sudah banyak sekali sampah yang dihasilkannya. Misalnya Uni Sovyet (dulu) dan Amerika yang meninggalkan bangkai pesawat antariksanya di angkasa.
Kemudian pikiran iseng saya pun berkelana memperhatikan sampah-sampah yang ada di hadapan saya. Mulai dari sampah sisa-sisa makanan, kertas, daun-daunan, sampai pada sampah plastik pembungkus dan bekas mainan anak.
Memperhatikan sampah sisa makanan yang menarik buat saya adalah sisa-sisa minyak yang menempel. Sejak kapan manusia modern mulai menggunakan minyak untuk memasak makanannya. Tentunya alat masak pun menyesuaikan dengan bahan makanan yang akan dimakannya. Darisini saya menyimpulkan ternyata minyak makan juga adalah penanda peradaban. Tapi kemudian pikiran saya terganggu, bagaimana kalau sisa makanannya adalah makanan yang dibakar/panggang? Di masa kini masih dan banyak juga makanan yang diolah dengan cara dibakar/panggang. Apakah ini tanda kemunduran? Saya lewati dulu pikiran itu.
Saya kemudian memperhatikan sampah kertas pembungkus. Sejak kapan masyarakat menggunakan kertas sebagai alat pembungkus makanan? Kalau kertas dikenal sejak masyarakat sejarah, berarti penggunaan kertas sebagai bahan pembungkus mungkin juga mengiringi peradaban masa manusia sejak saat itu hingga sekarang. Yang mengganggu pikiran adalah seberapa banyak pohon yang telah ditebang untuk menghasilkan kertas-kertas yang kemudian teronggok menjadi sampah ini?
Belum cukup terkagum dengan sampah kertas sebagai titik pijak peradaban, saya kemudian memperhatikan sampah plastik. Ini sampah yang merusak, tidak mudah di daur ulang. Saya pun bertanya-tanya, mulai kapan plastik digunakan sebagai peralatan didalam kehidupaan manusia? Peradaban bagaimanakah yang mengembangkan sampah yang merusak bumi begitu besar ini? Terencanakah? Atau secara tidak sengaja ditemukan?
Comments
Post a Comment