Skip to main content

PEREBUT MEDIA PEREBUT HATI RAKYAT

Galau!!. Mungkin demikianlah perasaan yang dialami Partai Politik nasional minggu belakangan ini. Bagamana tidak, 2 pebisnis media bersatu didalam satu atap partai politik yang baru saja ditetapkan sebagai partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2014. Bahkan partai berkuasa saat ini pun merasa cukup galau dan merasa perlu untuk menghalau melalui berbagai cara. Melalui tangan kekuasaannya di Komisi Penyiaran Independen (KPI) partai berkuasa berupaya menggiring isu seolah menjadi “pelanggaran” aturan penyiaran dan ruang publik. Lebih dari itu Parlemen pun diperdaya agar mengeluarkan aturan khusus pemilu berkenaan dengan bergabungnya 2 pemilik media massa berskala nasional didalam satu partai.

Iklan Politik VS Iklan Komersil


Tayangan iklan Nasdem yang terhitung sering ditampilkan oleh dua grup media nasional akhir-akhir ini membuat merah mata partai penguasa yang nota bene juga dibesarkan oleh media massa. Hal ini membuat mereka mengulik kembali peraturan tentang penggunaan media penyiaran. Bahkan tanpa malu-malu menunjukan besarnya kekhawatiran mereka dengan berdalih seolah kepentingan publik.

Jika dibandingkan secara nyata antara iklan politik dan iklan komersil yang ditampilkan oleh kedua group media massa saat-saat ini, sebenarnya partai penguasa tidak perlu menjadi khawatir. Tidak lebih dari 1/8 slot iklan media massa tersebut yang menampilkan iklan politik dari partai dimana pemilik media massa itu bergabung. Dari slot yang demikian itu hanya beberapa yang berdurasi sama panjang dengan iklan komersil dari perusahaan yang merajalela menjadikan rakyat Indonesia hanya sebagai pasar bagi produknya.

Kita bisa hitung sendiri berapa lama durasi iklan salah satu perusahaan rokok yang sangat kreatif menciptakan iklannya dan membandingkannya dengan iklan-iklan politik yang tampil di media massa keseluruhan. Kita juga bisa dengan akurat menghitung dari satu jeda tayang yang menampilkan iklan, perbandingan yang tepat antara iklan politik dan iklan komersil. Belum lagi kita bicara bagaimana perbandingan dampak yang dihasilkan antara iklan politik dan iklan komersil dalam hal memberikan pendidikan bagi khalayaknya sebagaimana tujuan komunikasi.

Adalah aneh bagi peminat komunikasi melihat bagaimana partai penguasa begitu sibuk berupaya menghalau laju iklan politik salah satu partai sementara sudah cukup nyata terbukti bahwa iklan susu formula misalnya menjauhkan ASI dari balita bahkan meracuni balita. Aneh pula jika iklan politik yang hanya kecil proporsinya begitu ditakuti sementara iklan-iklan komersial yang menggiring masyarakat menjadi konsumtif terus diberi ruang secara besar. Berapa besar porsi perbandingan iklan media massa untuk partai politik atau lembaga sosial misalnya terhadap perusahaan seperti Unilever, Kao, Djarum dan seterusnya? Dapat sangat terlihat jelas bagaimana partai penguasa menutup terhadap hal ini namun begitu gusar tatkala ada pesaing politiknya yang mengiklankan kinerja dan ide kebangsaannya di media massa. Mengapa tidak bersaing merebut ruang publik dengan kinerja dan ide kebangsaan ketimbang berupaya membatasinya?


Khayalak Media Individu Aktif

Menganalogikan khalayak media seolah papan-papan pasif yang pasti terkena tembakan peluru iklan (Teori Jarum Hipodermis) adalah hal yang sungguh terbelakang. Sudah lama sekali teori komunikasi yang menganalogikan individu pasif dalam ilmu komunikasi ditinggalkan di ruang pojok perpustakaan. Mengasumsikan dampak yang begitu besar dari iklan yang menerpa khalayak terhadap keputusan pilihannya adalah kemalasan yang berakibat kegusaran. Sudah tidak terhitung banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa banyak hal yang mempengaruhi keputusan pilihan khalayak.

Inilah yang dapat kita saksikan tatkala kader partai berkuasa yang nota bene sebelumnya adalah juga pegiat media massa justru gusar dengan tampilan iklan politik dari sebuah partai yang baru lahir. Kental sekali kegusaran yang ditunjukan sehingga harus repot-repot “melapor” pada KPI bahkan sampai mengagendakan khusus pembahasan di parlemen. Mereka nampaknya masih sangat percaya bahwa media begitu berperan sangat besar dalam mempengaruhi keputusan pilihan khalayak. Mereka masih tidak percaya bahwa masyarakat khalayak akan secara aktif memilih preferensinya. Mereka masih meragukan kecerdasan media dari khalayak disaat kontrol media berada ditangan khalayak melalui remote, tombol pencari sinyal dan sejenisnya .

Memperhitungkan dampak besar iklan politik disaat perkembangan media yang semakin tersegmentasi bukanlah hal yang bijak. Individu bukan lagi cuma bisa memilih atau menikmati media massa yang mana yang menjadi preferensinya sebagaimana di era Order baru. Sekarang ini individu bahkan dengan remote control ditangannya bisa dengan mudah mengabaikan atau terus menikmati tayangan media.

Hal yang justru selayaknya diperhatikan adalah bahwa khalayak tidak bisa lari dari tayangan iklan yang mengajak konsumtif. Berbagai iklan produk yang justru merusak alam, seperti sabun, sampo, dan berbagai bahan kimia kecantikan/perawatan tubuh justru tidak bisa dihindarkan apapun pilihan media khalayak. Begitu pula halnya dengan iklan-iklan susu formula, vitamin penambah kecerdasan dan sejenisnya yang justru merusak hubungan didalam keluarga.

Dari sini dapat terlihat bahwa perhatian partai penguasa berkenaan dengan pengaturan media hanyalah untuk kepentingan mempertahankan status quo nya tanpa visi kerakyatan didalamnya. Mereka terlalu gusar akan kalah dalam pemilu akibat iklan politik namun tidak demikian halnya dengan propaganda konsumerisme yang jusru tidak untuk industri asli dalam negeri.


Saatnya Media Tidak Alergi dengan Iklan Politik


Depolitisasi dan de-ideologisasi yang dilakukan Order Baru nampaknya masih menghinggapi bangsa ini termasuk media massa. Pemeo media massa independen, non partisan dan sebagainya masih menjadi kabut yang menghalangi kejernihan memandang problematika kebangsaan.

Belajar dari apa yang berlaku saat-saat menjelang perubahan sistem di beberapa negara Timur Tengah beberapa waktu lalu, dan menginsyafi peranan media massa di Indonesia diera perebutan kemerdekaan dan masa Orde Lama, dapat terlihat bagaimana peran besar media massa sebagai media belajar masyarakat yang mampu mengarahkan aras perubahan bangsa.
Pertarungan wacana di media massa yang begitu semarak memudahkan masyarakat untuk melek politik dan sadar akan pilihannya. Masing-masing partai berupaya merebut ruang publik melalui pertarungan wacana dengan media massanya. Rakyat melek akan kualitas partai-partai pilihannya dan tidak tabu untuk membicarakan kinerja partainya.

Sejak Orde Baru memimpin, semua fungsi pendidikan politik rakyat melalui media massa dikebiri. Media massa seolah tabu membicarakan politik, padahal ia bicara politik dengan sangat lantang untuk mempertahankan status quo order baru. Malu-malu bicara keberpihakan politik namun ia mengarahkan opini publik. Inilah yang kemudian kita lihat di medio 1995-1997 terkait media massa nasional. Suharto berhasil ditumbangkan salah satunya berkat kelihaian media mengemas politik melalui frame (bingkai) pemberitaan dan politik wacana.

Saat ini di era keterbukaan dimana idealisme kebangsaan kalah bersaing dengan idealisme bisnis adalah aneh jika kita masih berkutat untuk membatasi iklan-iklan politik. Sudah saatnya media massa memberi porsi yang yang seimbang bagi berkembangnya ide-ide kebangsaan. Iklan-iklan partai politik seharusnya hanya dibatasi oleh kemampuan partai untuk memanfaatkan slot-slot yang tersedia. Dukungan media untuk memberikan special rate untuk partai politik atau lembaga sosial ditambah penyediaan slot yang mencukupi buat partai adalah langkah yang sepatutnya ditempuh. Inilah yang nantinya dapat menyeimbangkan antara iklan komersil dengan iklan politik. Bukan dengan membatasi melalui berbagai dalil, melainkan melalui dorongan agar negara mensubsidi iklan-iklan politik yang mencerdaskan. Bukan hanya dibatasi pada masa kampanye semata yang jelas-jelas tujuannya hanya untuk mobilisasi.


Mengembalikan Fungsi Pendidikan Media Massa


Satu hal yang tidak boleh kita lupakan dari fungsi media massa adalah fungsi pendidikan. Hal ini telah lama hilang sejak Orde Baru dan perlu segera dikembalikan ke habitatnya.

Dimasa Orde Baru, fungsi pendidikan media massa diatur sedemikian rupa menjadi alat meninabobokan rakyat. Perdebatan ditabukan sejalan dengan politik wacana penguasa saat itu untuk melanggengkan supremasi kekuasaannya. Hal-hal yang melenceng dari apa yang digariskan pemerintah menjadi hal terlarang. Alhasil, hanya ada satu kebenaran yang semuanya hanya bersumber dari kekuasaan.

Berbarengan dengan hal itu, pemerintah orde baru mengarahkan media massa untuk melulu menjadi media hiburan. Perkembangan dunia hiburan televisi sebagaimana juga media cetak dan radio berkembang bak jamur dimusim semi. Banyak sekali daftar acara hiburan yang disajikan oleh media massa saat itu dan terus berkembang dan mencapai puncaknya diera reformasi.

Tak terhitung jumlah sinetron, kuis, tayangan musik, lawakan dan berbagai mata acara hiburan yang dihasilkan dari sejak era hanya satu televisi hingga lebih dari 10 stasiun televisi sekarang ini. Hal ini berbanding terbalik dengan acara-acara edukasional yang mampu dihasilkan dan ditayangkan di media massa. Masyarakat dininabobokan seolah bangsa ini tidak ada masalah sama sekali. Padahal ada masalah utang negara terhadap lembaga keuangan asing, masalah pencaplokan lahan-lahan produktif bangsa oleh pemodal besar bangsa asing, eksploitasi sumber daya alam, kerusakan hutan, KKN, pelanggaran HAM dan beragam problematika kebangsaan lainnya.

Hilangnya fungsi edukatif media massa sebagaimana ujaran Prof. Onong Uchjana, yang kemudian dibalut dengan ideologi pembangunan-isme, membuat masyarakat semakin terlelap didalam pusaran permasalahan bangsa yang begitu kompleks. Naif bila hingga hari ini media massa masih harus dicekoki dengan pola-pola pengaturan sebagaimana masa lalu.

Momen dimana terdapat partai politik yang mengiklankan ide-ide kebangsaannya melalui media massa haruslah dilihat sebagai upaya kembalinya fungsi edukatif media massa. Walaupun hal ini masih harus bersaing dengan tayangan iklan komersil dan berbagai mata acara/tayangan yang melulu mengedepankan sisi hiburan dan bisnis semata. Pemerintah selayaknya lebih mendorong media massa agar memberi porsi yang seimbang antara fungsi hiburan dan fungsi edukatif media massa nasional sekarang ini.


Bersaing di Era Bisnis Media

Saat ini media massa adalah sarana bisnis yang sangat menggiurkan. Kemampuan media untuk menjual konten tayangannya menjadi faktor penentu keberhasilan bisnis media. Inilah yang menjadi tantangan penting bagi pemerintah saat ini dan dimasa yang akan datang. Porsi besar iklan komersil yang ditayangkan dimedia massa tidak terlepas dari pemeo bisnis media massa. Siapa yang bisa membayar slot iklan dengan harga tinggi, dialah yang memperoleh slot tayang di media massa. Hal inilah yang sepatutnya diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh pemangku kebijakan. Membiarkan hal ini terus berlangsung akan berarti pemerintah ikut menanamkan konsumerisme warganya. Hal ini yang patut diatur secara seksama secara seimbang antara fungsi bisnis dan edukatif media massa.

Membiarkan kanal-kanal siaran dikuasai untuk siaran-siaran komersil di media massa adalah sama buruknya dengan berpura-pura mengatur tayangan iklan politik hanya demi langgengnya kekuasaan saat ini. Hal ini yang patut dicermati dari langkah beberapa partai politik besar kontestan pemilu lalu dengan akan mengagendakan pembahasan khusus diparlemen atas tayangan iklan dari sebuah partai politik baru.

Semoga yang dibahas bukanlah hanya cara memblokade agar iklan partai politik tidak tampil di media massa selain masa kampanye. Melainkan mengupayakan dorongan agar media massa mau memberikan porsi yang lebih agar semua partai dapat mengiklankan ide-ide, program-program dan aktifitas kebangsaan dari partai politik selain memperbesar porsi edukatif lainnya. Inilah yang semestinya menjadi perhatian pembuat kebijakan agar ide-ide sosial dan kebangsaan mampu bersaing dengan iklan komersil di era bisnis media massa saat ini.

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev