Tarik-ulur ideologi di tubuh Partai Amanat Nasional (PAN) berjalan seiring dengan pergantian tokoh-tokoh pimpinannya. Namun, naik turunnya suara PAN tidak ditentukan oleh kepemimpinan dan ideologinya semata, tetapi oleh langkah koalisinya.
Pada pemilu pertama era reformasi, tahun 1999, partai berlambang matahari itu berhasil memperoleh 7,4 persen suara dan bisa menempatkan 34 wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam pemilu berikutnya (2004) PAN mengalami kemerosotan suara pemilih menjadi 6,44 persen. Walaupun demikian terjadi kenaikan yang signifikan dalam perolehan kursi di DPR dengan berhasil menempatkan 53 orang wakilnya di DPR. Inilah kemudian menjadi perolehan kursi paling banyak yang dapat diraih oleh PAN dalam sejarahnya hingga Pemilu 2014 lalu.
Perolehan kursi yang naik signifikan ini tampaknya meningkatkan kepercayaan diri PAN untuk mencalonkan ketua umumnya, Amien Rais, untuk maju sebagai calon presiden 2004. Berbekal atribut yang cukup banyak, Amien Rais memang layak diperhitungkan. Ketika itu Ia menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999-2004, Selain dikenal sebagai tokoh reformasi yang paling menonjol, kesuksesannya dalam menggalang kekuatan “Poros Tengah” yang mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR, juga melambungkan namanya.
Selain itu, Amien Rais juga dikenal sebagai penggagas wacana penerapan negara federal, sekalipun untuk itu ia berhadapan dengan protes dari berbagai pihak. Ia juga pernah tercatat sebagai tokoh politik paling populer Tahun 1999 berdasarkan hasil survei Litbang Kompas. Dari 99 tokoh politik, Ia mengungguli nama-nama tokoh politik lain seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Yusril Ihza Mahendra. Namun, sikap politiknya juga menjadi sorotan tajam, dianggap terlalu vokal dan terlalu banyak berkomentar (Kompas, 27/12/1999).
Sayangnya, menjelang Pemilu 2004 dia berhadapan dengan figur yang sedang meroket, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemilu presiden pun berakhir dengan kekalahan Amien Rais. Ia hanya mampu berada di urutan ke tiga setelah SBY dan Megawati.
Pascakekalahan Amien Rais dalam kontestasi memperebutkan kursi presiden, pandangan positif masyarakat terhadap PAN jatuh pada di titik rendah. Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Agustus 2004 menunjukkan pesimisme yang begitu kentara terhadap masa depan PAN. Citra partai di mata konstituen PAN sendiri dinilai buruk (51 persen), berbanding yang menilai baik (40 persen).
Suksesi dan Pluralitas
Pergantian ketua umum menjadi Soetrisno Bachir yang kemudian dilakukan Maret 2005 membalikkan pesimisme itu menjadi optimisme, citra PAN melambung menjadi 90,5 persen di mata pendukungnya. Massa di luar PAN pun mengapresiasi partai di bawah kepemimpinan baru Soetrisno Bachir yang menarik PAN kembali menjadi partai terbuka yang pluralis. Kepemimpinannya juga ditandai dengan banyaknya figur publik dan artis yang direkrut menjadi penarik massa. Dari 596 caleg PAN, paling tidak 18 orang di antaranya berasal dari kalangan artis. Upaya PAN merekrut caleg dari kalangan artis juga menjadi simbol kuat keinginan PAN menegaskan identitas keterbukaan dan modernitas.
Kepiawaian Bachir segera terlihat dengan menjadikan PAN sebagai partai yang menonjol pada pelaksanaan pilkada 2005 dan 2006. Berkat strategi pemilihan calon, partai ini tercatat memenangi pemilihan kepala daerah cukup banyak. PAN berada di peringkat ketiga dalam perolehan kemenangan pilkada setelah Partai Golkar dan PDI-P. Padahal, cukup banyak partai lain yang dalam pemilu sebelumnya memperoleh dukungan suara lebih besar daripada PAN.
Terlebih, PAN juga menjadi partai yang fenomenal karena hampir semua partai besar bisa mendulang banyak kemenangan ketika berkoalisi dengan partai ini. Koalisi yang dilakukan baik PAN dengan Golkar, PDI-P, PPP, PKB, Partai Demokrat, maupun PKS menunjukkan hasil yang efektif dengan memenangkan banyak pilkada.
Meski demikian, banyaknya kemenangan dalam pilkada ternyata tidak ekuivalen dengan peningkatan suara dalam Pemilu 2009. Perolehan suara PAN justru merosot dari 6,45 perses menjadi 6,01 persen, terendah dalam sejarahnya. Figur dalam kepemimpinan PAN sepertinya cukup berpengaruh.
Di bawah kepemimpinan Bachir, meskipun piawai meracik calon-calon dalam pilkada, namun tidak dipandang sebagai tokoh kuat yang akan membawa PAN pada masa gemilang. Keragu-raguan publik sudah tergambar dalam survei Litbang Kompas, Juni 2005. Konstituen PAN yang yakin bahwa kepemimpinan Bachir akan mampu menambah perolehan suara pada Pemilu 2009 hanya 40,9 persen. Keyakinan pemilih non-PAN lebih sedikit lagi yang yakin, hanya 25,5 persen. Indikasi ini dapat menjadi petunjuk bakal sepinya rumah politik ini dari pelintas suara (swing voters).
Selain itu, pemusatan dukungan koalisi partai pada petahana Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Demokrat meraih kenaikan suara hingga tiga kali lipat, yang sekaligus menjadi sebab tersedotnya suara PAN dan partai-partai berbasis massa Islam lainnya.
Ketika elite PAN lebih memilih berkoalisi sejak awal, sebelum pemilu, dengan mengusung kader dari partai lain, ternyata berpengaruh pada kemerosotan suara partai. Sebaliknya, ketika dalam pemilu legislatif 2014 PAN memilih untuk tidak terikat pada pasangan tertentu sebelum pemilu digelar, suaranya kembali naik. Kemandirian partai, tampaknya menjadi kunci penting sebagai modal dasar kontestasi. Kemandirian inilah yang kembali akan diuji pada Pemilu 2019 nanti.
Kemandirian PAN inilah yang kembali akan diuji pada Pemilu 2019 nanti.
Pemilu Eksistensial
Pemilu 2019 adalah pemilu pertama di Indonesia yang menggabungkan pelaksanaan pemilu presiden dengan pemilu anggota DPR pada hari yang sama. Dampaknya akan sangat serius bagi partai-partai yang tidak memiliki tokoh untuk dipertandingkan, entah sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden. Magnet pasangan calon presiden akan menyedot suara pemilih dari partai-partai yang kadernya tidak berhasil dicalonkan. Bisa diduga, suara di kelompok partai papan atas akan terpusat pada dua partai yang mengusung kadernya sebagai capres dan papan menengah akan terkonsentrasi di partai-partai yang mengusung kadernya sebagai cawapres. Partai-partai lain akan masuk ke kelompok partai papan bawah atau tersingkir dari parlemen, kecuali mampu memunculkan figur alternatif.
Dalam situasi demikian, Pemilu 2019 adalah pertaruhan eksistensi yang paling kritis bagi partai-partai yang tidak memiliki basis massa solid serta tidak memiliki kader yang sangat populer sebagai penarik massa. Pertarungan Pemilu 2019 bukan sekadar pertarungan ideologi dan kepemimpinan nasional semata, tetapi lebih dari itu adalah pertaruhan eksistensi partai. Bukan juga sekadar persoalan apakah elitenya akan mendapatkan posisi atau tidak di pemerintahan nantinya, tetapi persoalan hidup matinya parpol. Dan, PAN sedang berada di persimpangan ini. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)
Comments
Post a Comment