Kebesaran ”Bung Besar”
”Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini bisa menimbulkan demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti Soekarno. Aku dikutuk seperi bandit dan dipuja bagai dewa….”
Teks di atas ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1984).
Penyambung lidah rakyat, pemimpin besar revolusi, waliyul amri, panglima tertinggi, dan lain sebagainya adalah beberapa gelar yang dinisbatkan untuk menggambarkan kebesaran Bung Besar. Bahkan, seorang penulis, Bernhard Dahm, menelusuri rujukan kultural Ratu Adil untuk melukiskan Soekarno di panggung politik keindonesiaan.
Walaupun bukan satu-satunya penyebab revolusi Indonesia, tidak bisa ditampik bahwa Bung Karno memiliki peran besar menggerakkan mesin revolusi. Bersama Hatta, dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia , memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, secara politik Indonesia terlepas dari jerat kolonialisasi asing yang telah menjajah ratusan tahun.
Daulat pikiran
Salah satu kelebihan Bung Karno bukan sebatas kefasihan artikulasi politik, tetapi kesungguhannya melaksanakan pikiran-pikirannya yang disemai sejak belia. Gagasan yang mulai ditulis 1911 dengan nama samaran Bima di penerbitan nasionalis ”Oetoesan Hindia” hendak ditubuhkannya dalam negara yang dimerdekakannya.
Bung Karno hadir bukan hanya sebagai politikus, melainkan juga pemikir. Politik yang diyakininya diacukan pada pergulatan pemikirannya. Atau sebaliknya, pemikirannya adalah hasil refleksi dari amal politiknya. Tak sekadar mengandalkan pukau orasi retorisnya yang mampu menghipnotis massa, tetapi juga kekuatan bacaan yang memberi ruang bagi pembaca untuk merenungkan. Politik dan kerjanya seperti darah dan daging yang menggarami sel-sel keindonesiaan.
Soekarno muda (lahir 6 Juni 1902) telah memperlihatkan minat yang tinggi terhadap politik. Bukan hanya sejak perpindahannya ke Bandung, ketika sekolah di Surabaya (masuk HBS Hogere Burger School) pun sudah terlibat dalam organisasi Tri Koro Darmo yang pada 1918 beralih nama menjadi Jong Java.
Di Bandung , warna ideologis dan langgam pemikiran Bung Karno semakin matang. Kalau di Surabaya pekat dengan homogen keislaman (Syarikat Islam), di Semarang dominan alur marxisme, maka di Bandung nyaris semua ideologi berkembang. Dipengaruhi pula oleh perjumpaan intensifnya dengan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo.
Tanpa berlama-lama mengambil keputusan terjun total di dunia politik, alih-alih menerima tawaran menjadi asisten dosen di THS (Technische Hooge School), Bung Karno justru mendirikan kelompok Algemeene Studie Club (1926). Lewat klub diskusi ini, Bung Karno mengembangkan horizon pikiran sekaligus kaderisasi dan mempromosikan gagasan kebangsaannya secara gencar lewat pendekatan nonkooperasi dan pentingnya Indonesia merdeka secara utuh.
Manifesto politiknya dituangkan dalam pamflet, ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang disebarluaskan dalam majalah Indonesia Moeda. Pamflet ini menggambarkan kecerdikan sekaligus juga keluasan bacaan Bung Karno dalam meramu hasil bacaan dan kejelian melihat persoalan bangsanya. Bung Karno tidak ingin melihat keislaman, nasionalisme, dan marxisme ditarik dalam garis dikotomik dan sengketa tidak berujung yang malah melemahkan perjuangan melawan kolonialis kapitalis.
Sinkretisme adalah jalan yang ditempuh Bung Karno untuk mendamaikan ketiga aliran yang acap bentrok di lapangan. Di tangan Bung Karno ketiganya diakomodasi dan dijadikan alat untuk menumbuhkan kesadaran baru menentang kolonial.
Kepada kaum Muslim, Bung Karno mengingatkan, ”Kaum Muslim tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah musuh Islam pula. Sepanjang paham marxisme, meerwarde pada hakikatnya adalah riba dalam paham Islam…. Karena Islam tertindas, maka pemeluk Islam mesti nasionalis. Karena modal di Indonesia adalah modal asing, maka kaum Marxis yang berjuang melawan kapitalis haruslah pejuang nasionalis.”
Bagi Soekarno ”persatuan” menjadi kunci percepatan menuju kemerdekaan. ”…Persatuanlah yang akan membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!”
Tampak jelas Soekarno menjadikan isu nasionalisme sebagai titik tengah (kalimatun sawa) menyatukan semua kubu. Trajek titik persilangan yang mempertemukan semua kelompok. Nasionalisme adalah zat efektif yang meleburkan tidak saja gerakan politik dan keagamaan, tetapi juga nalar kebangsaan dan imajinasi kemerdekaan. ”Buat saya cinta Tanah Air adalah cinta kepada umat manusia,” demikian kata Bung Karno mengutip Mahatma Gandhi.
Jalur partai
Bung Karno merasa tidak cukup mendirikan kelompok studi. Pada 4 Juli 1927, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia. Partai sebagai alat melipatgandakan gagasan agar semakin masif, sistemik dan cepat sampai ke masyarakat. Programnya ”Mengusahakan Kemerdekaan Indonesia” dengan slogan penuh gelora, ”Merdeka Sekarang Juga”.
Untuk mengantisipasi benturan dengan wadah-wadah perjuangan yang sudah ada, SI dan lain sebagainya, Bung karno mengajukan gagasan pembentukan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang menyatukan unsur PNI, SI, Budi Utomo, Serikat Sumatera, Pasundan, Kaum Betawi, dan kelompok berbasis kedaerahan lainnya.
Kiprah politik dan pemikiran yang radikal itu juga mengantarkan Bung Besar dan tokoh-tokoh PNI dijebloskan ke Penjara Banceuy dengan pasal terang: merencanakan pemberontakan kepada Belanda. Soekarno (1930) justru menjadikan pengadilan—tampak dalam pleodoinya ”Indonesia Menggugat”— sebagai mimbar menyebarluaskan mimpi-mimpinya sekaligus memperkenalkan idiom baru yang lebih membumi ”marhaen(isme)” menggeser kata buruh.
Radikalisme dan sikap nonkooperatifnya membuat Soekarno masuk-keluar bui. Pada 17 Februari 1934, ia dibuang ke Ende, Plores; Februari 1938, ia dipindahkan ke Bengkulu. Statusnya sebagai manusia buangan semakin menahbiskan dirinya sebagai sosok yang layak di garis terdepan dari seluruh manusia pergerakan.
Menemukan adabnya
Tentu saja menarasikan penggalan riwayat Bung Besar bukan sekadar untuk dikenang, bahwa dalam jiwa bangsa ini ada banyak pahlawan yang seharusnya kita tak henti berterima kasih, tetapi ada nilai penting yang melampaui itu, yakni etos dan spirit kejuangan Bung Besar.
Bahwa politik tak sekadar mengejar kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu membawa faedah kepada khalayak. Takhta yang mendatangkan rasa riang, gembira, dan sejahtera kepada semua. Ini juga barangkali makna dari nubuat ideologisnya bahwa revolusi belum selesai. Bahwa revolusi mental yang diusung Presiden Joko Widodo bukan hanya penting, melainkan jalan rohaniah yang dapat mempercepat bangsa ini menemukan adabnya. Dengan segenap kesabaran.
ASEP SALAHUDIN, Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila; Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
Comments
Post a Comment