Skip to main content

Musim Dingin Sejarah

Dalam ikhtisar penuh rasa hayat dan makna sejarah, cendekiawan Kuntowijoyo (”Menuju Masyarakat Pasca-Kapitalis”, Kompas, 4-5 September 1990) menyebut ”lautan mengalir ke sungai” untuk melukiskan penghancuran basis sosial-ekonomi lokal di Jawa pada periode kapitalisme agraris setelah era Tanam Paksa (1830-1870).
Pada masa Raja Pakubuwono IX dan Pakubuwono X itu, para bangsawan menyewakan tanah lungguh kepada swasta Belanda. Petani juga menyewakan tanahnya sehingga budaya patron-klien khas ”kawulo-gusti” pudar, upeti berganti pajak, dan rakyat diupah. Raja jadi
penjamin ketersediaan tanah dan tenaga kerja untuk onderneming(perkebunan) swasta.
Monetisasi dan banjir modal skala masif dan mengisap itu akhirnya memicu perlawanan rakyat yang beraliansi dengan kaum intelektual. Setelah Boedi Oetomo 1908, lahir Sarekat Dagang Islam (1909) yang berubah menjadi Sarekat Islam (1912) dengan pelopor Raden Mas Tirto Adisoerjo dan Tjokroaminoto. Juga Indische Partij (1911) yang dimotori tiga serangkai: Tjipto Mangoenkosoemo, Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat.
Pergolakan petani pun muncul di sejumlah wilayah (misalnya diuraikan dalam disertasi Sartono Kartodirdjo, 1966: Pemberontakan Petani Banten 1888). Latar sejarah ini direkam secara satire oleh Pujangga Ronggowarsito dalam tembang ”Kusumawicitra”: ”Jika zaman sudah rusak atau Kaliyuga, tidak ada yang melebihi orang kaya. Orang pandai, berani, pertapa/pendeta semua menyembah dan menghadap orang kaya. Semua perbuatan berdasarkan upah” (Wulang Dalem Warna-Warni, 1983).
Depolitisasi
Kuntowijoyo menerangkan, koreksi terhadap hegemoni modal didukung kekuasaan seperti tercetus saat Peristiwa Malari 1974 bukan merupakan gerakan permanen. Reforma agraria belum menjadi kebutuhan bersama karena trauma masa lalu yang dimanfaatkan secara efektif oleh rezim Orde Baru. Berlainan dengan sejarah transformasi sosial-ekonomi-politik di Barat, perlawanan rakyat dan kekuatan sosial-politik di era kapitalisme agraris semakin surut justru di era kapitalisme industrial.
Uraian itu beroleh bukti kuat sekarang. Kekayaan nasional dikuasai oleh sedikit penduduk. Segelintir perusahaan menguasai ratusan ribu, bahkan jutaan hektar lahan. Beberapa korporasi menguasai produksi hulu sampai hilir di industri pangan. Ekonomi rente erat melekat dalam lisensi dan konsesi. Mentalitas ”kacung” menetap dan prinsip keadilan lunglai berhadapan dengan kekuatan modal.
Andreas Ulfen (Political Parties in Post-Suharto: Between Politik Aliran and Philippinisasi, 2013) menyimpulkan situasi Indonesia serupa Filipina dengan enam gejala mencolok. Pertama, partai politik dibentuk untuk memobilisasi massa mengambang guna mengusung kandidat pada kontestasi pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Kedua, otoritas partai memusat pada figur personal atau sekumpulan elite. Ketiga, ”politik uang” melanda semua partai karena miskin ideologi dan krisis kaderisasi. Keempat, loyalitas lemah sebagaimana tecermin dari munculnya banyak petualang politik. Kelima, merebaknya kolusi dan koalisi cair yang didukung kartel ekonomi-politik. Keenam, bermunculan ”raja-raja baru” yang menggandeng pemodal besar di tingkat lokal.
Demokrasi tanpa pendidikan politik rakyat menyuburkan fragmentasi sampai akar rumput, termasuk dengan memperdagangkan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Seluruh pertanda ini tidak hanya mencabik-cabik bangunan kebangsaan, menyuburkan kepentingan elite, tetapi juga menjauhkan cita-cita politik ideal untuk memajukan bangsa. Pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew (One Man’s View of the World, 2013), meramalkan bahwa kemacetan proses politik, korupsi, dan infrastruktur buruk bakal menyulitkan Indonesia meraih kemajuan fundamental 20-30 tahun mendatang.
Pemerintahan Joko Widodo giat memacu infrastruktur, tetapi belum efektif memelopori perubahan substansial supra-infrastruktur politik, mencegah dan memberantas korupsi terstruktur. Ketiganya merupakan elemen kunci perubahan, selain perombakan radikal sistem pendidikan untuk menjemput tantangan zaman.
Tidak menjejak
Dalam kurun waktu lama, kita disuguhi fakta pahit berupa ketidaksejajaran capaian agregat makro positif (pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi terkendali, neraca transaksi berjalan aman, dan nilai tukar stabil) dengan kualitas pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia di peringkat ke-109 dari 166 negara, kemiskinan absolut tinggi dan rentan (10,58 persen dari total penduduk), pengangguran terbuka dan terselubung bertahan tinggi (72,67 juta orang bekerja di sektor informal), derajat ketimpangan masih lebar, kualitas pendidikan dan kompetensi tergolong sangat rendah. Seluruh ikhtiar pemerintah dan bangsa mestinya fokus pada gugusan persoalan ini.
Denyut ekonomi negara yang tidak beresonansi dengan kesejahteraan rakyat itu mengingatkan fenomena ”Dutch Disease”: kaya sumber daya alam, tetapi rendah kemajuan ekonomi rakyatnya. Pembuat kebijakan dan ekonom alpa mencermati keganjilan tanpa henti dan tidak menjejak hakikat ini dan kemudian berikhtiar memecahkan akar masalahnya.
Sejak lama juga diketahui realitas keterlepasan sektor riil dan sektor keuangan. Harga dana tetap mahal dan sukar diakses. Biaya atas modal jauh di atas negara-negara lain sehingga produksi tidak kompetitif. Imbalan atas modal yang jauh melebihi upah tenaga kerja, biaya produksi barang dan jasa itu jelas menunjukkan sektor keuangan dan faktor-faktor pengaruhnya tidak sehat.
Endapan persoalan kapitalisme agraris dan ketidakcukupan syarat menuju kapitalisme industrial mengantarkan pada keperluan menata ulang bangunan ekonomi-politik yang memberi jaminan dan kepastian transformasi berada dalam kendali anak bangsa. Keadilan dan kemajuan hanya mungkin terwujud manakala semua kekuatan sosial-ekonomi-politik mengoreksi dan merumuskan kembali jalannya republik ini.
Lemah pendekatan
Kendati banyak kebijakan dan program pemihakan pada rakyat dan golongan lemah, seluruh instrumen dan perangkat operasionalnya belum didesain untuk pemberdayaan dan pendampingan tiada lekang. Dari temuan data empirik ketika saya mengunjungi sentra perikanan rakyat di pulau-pulau terdepan, November-Desember 2017, terkuak fakta bagaimana persoalan klasik berkelindan sedemikian rupa sehingga menihilkan tujuan pemberdayaan dan kesejahteraan sesuai mandat Inpres No 7/2016 dan Perpres No 3/2017 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Pangkalan pendaratan ikan Oeba dan Tenau di Kupang, Larantuka di Flores Timur, Maumere di Sikka (Nusa Tenggara Timur); Selat Lampa di Natuna (Kepulauan Riau); Sanggeng di Manokwari (Papua Barat); serta Mahadi di Jayapura dan Paumako di Timika (Papua), semuanya tidak mencerminkan visi dan tekad kuat memajukan industri maritim dan perikanan. Prasarana dan sarana seperti pelabuhan, tempat pelelangan ikan, pabrik es, gudang penyimpanan beku (cold storage) tak berfungsi optimal (under-utilized) dan sebagian besar mangkrak.
Evaluasi atas kondisi ini mengerucut pada empat sumber masalah. Pertama, ego sektoral tetap bercokol kuat, praktis tidak ada koordinasi dan respons cepat tanggap. Kedua, distribusi dan alokasi wewenang tumpang tindih, cenderung rumit, dan saling meniadakan. Ketiga, konektivitas logistik lemah, tidak sinkron dengan program tol laut atau angkutan laut reguler. Keempat, hubungan nelayan dan swasta untuk kerja sama saling menguntungkan luput dari desain sehingga produk perikanan laut tidak terolah dan dihargai rendah. Semua masalah itu bukan problem hari ini, tetapi telah berlangsung sejak lama.
Zaman keruntuhan
Zaman Kaliyuga dimaknai ”musim dingin sejarah” alias zaman keruntuhan. Situasinya menggambarkan ketika kaum cerdik-cendekia, para pemberani (militer), dan penjaga moral (pemuka agama) termarjinalkan. Ironisnya, sebagian malah menyokong elite status quodan pemilik kapital.
Dari referensi dunia, kita mengetahui beberapa solusi aman untuk menjinakkan penetrasi kapital agar tidak menggerus keadilan dan kebangsaan. Pertama, jalan demokrasi sosial (welfare state) seperti berlaku di Barat dan diadopsi banyak negara. Model ini antara lain mengenakan pajak progresif dan selanjutnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sosial. Ia mensyaratkan pemerintahan bersih, berwibawa, dan efisien. Negara mengawasi harga dan keuntungan agar tidak terjadi manipulasi pasar oleh kekuatan ekonomi besar.
Kedua, jalan demokrasi ekonomi seperti diterapkan di negara-negara Skandinavia. Model ini secara terencana menyusun dan menjalankan peta jalan distribusi modal dan aset produktif kepada tenaga kerja, negara, atau pemerintah lokal. Ketangguhan model ini sudah teruji dan relatif tahan banting dari terpaan krisis ekonomi dunia.
Ketiga, model sosialisme pasar ala China yang digagas Deng Xiao Peng sejak 1979. Pemerintah tampil sebagai pemegang otoritas penuh sekaligus katalisator perubahan dalam mendorong kemajuan ekonomi. Eksperimen besar China butuh waktu sekurang-kurangnya setengah abad untuk membuktikan ketangguhannya dalam menandingi model demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Modal sosial kita berserakan di seluruh negeri dalam rupa-rupa bentuk gotong royong dan kearifan lokal. Yang belum dilakukan adalah memampukan modal sosial itu agar mencapai kapasitas optimum. Dalam kaitan ini, mimpi Bung Hatta tentang koperasi sangat relevan. Koperasi sebagai alat perjuangan dan pembenihan kekuatan sosial-ekonomi untuk mengangkat harkat dan kesejahteraan rakyat. Kebersamaan dan persatuan dalam ikatan sosial tak berdaya jika tidak terkonsolidasi dan tidak memiliki kemampuan atau pengaruh dalam tawar-menawar dengan kekuasaan dan modal.
Kita masih jauh dari negara pascakapitalisme dengan karakteristik kunci: transformasi relatif mulus dalam mengatasi gejolak dan ketegangan menuju konsensus semua kekuatan sosial-politik-ekonomi. Apakah ”lautan mengalir ke sungai” dan menerjang habis kekuatan lokal sekaligus meninggalkan endapan kesengsaraan akan berulang? Perihal ini bergantung pada pemahaman mendalam dan ikhtiar kita dalam memaknai realitas sejarah dan jejak yang ditimbulkan sampai sekarang.
SUWIDI TONO, Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
(kompas, 3 Januari 2018)

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev