Skip to main content

Masa Depan PAN (2): Tarikan Pergulatan Ideologi yang Berhenti

KOMPAS/ALIF ICHWAN (AIC)
Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais seusai menjelaskan mengenai pencatutan namanya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari di Jakarta, Jumat (2/6). Sosok Amien Rais masih sangat memengaruhi haluan politik PAN.
Perjalanan Partai Amanat Nasional dalam dinamika politik Indonesia adalah cermin dari pergulatan ideologi pluralis dan sektarian di dalam sebuah partai politik. Berada di tengah perlintasan yang krusial pada Pemilu 2019, nasibnya akan sangat ditentukan oleh pergerakan politiknya dalam waktu delapan bulan mendatang. Jika tak mampu memunculkan tokoh dan pemaknaan identitas baru, bukan mustahil parpol ini akan bernasib sama dengan partai-partai non-parlemen lainnya, makin senyap dari gelanggang politik nasional.
Pada Pemilu 2014, PAN mendapatkan suara 7,57 persen, tertinggi selama empat kali pemilu. Meski demikian, raihan suara seperti pemilu lalu itu tampaknya akan sulit dipertahankan untuk Pemilu 2019. Massa yang pada Pemilu 2014 memilih PAN, menurut survei Litbang Kompas, sekarang justru cukup banyak yang tergiring menuju wadah politik lain, lebih menyukai memilih Partai Gerakan Indonesia Raya (20,7 persen) dan Partai Keadilan Sejahtera (10,3 persen) meskipun 48,3 persen masih tetap setia dengan PAN. Kondisi itu akan membuat partai ini kian tergerus dari panggung politik, kecuali ada kejutan yang cukup signifikan mengubah kecenderungan ini.
Raihan suara PAN seperti Pemilu 2014 tampaknya akan sulit dipertahankan di Pemilu 2019.
Basis massa rentan
Basis massa PAN mudah sekali berubah dan, menghadapi titik kritis Pemilu 2019, partai ini justru tidak menjadi sebuah partai alternatif bagi kalangan konstituen partai-partai Islam sendiri. Berdasarkan survei Litbang Kompas terakhir (Oktober 2017), partai berlambang matahari ini tidak lagi diminati pelintas suara (swing voters) dari Partai Kebangkitan BangsaPartai Persatuan Pembangunan, PKS, ataupun Partai Bulan Bintang. Survei menunjukkan, nyaris tidak ada peminat dari konstituen yang pada Pemilu 2014 memilih partai-partai itu akan memilih PAN jika pemilu dilakukan saat ini.
Mengharapkan dukungan total dari kalangan Muhammadiyah pun tampaknya tidak akan cukup untuk membuat partai ini bertahan dari posisinya selama ini. Hal ini terjadi karena PAN menjadi partai yang kian tidak menarik baik bagi kalangan Muhammadiyah maupun massa dari aliran Islam lainnya. Konstituen dari basis Muhammadiyah justru merupakan massa yang paling bingung saat ini.
Berdasarkan survei, massa Muhammadiyah merupakan kelompok aliran Islam yang paling tinggi (35,7 persen) tingkat keragu-raguannya. Sementara itu, kalangan Muhammadiyah yang saat ini sudah memiliki preferensi justru lebih condong memilih partai nasionalis dan partai Islam lainnya daripada PAN. Sekarang partai yang lebih mampu menarik minat kalangan ini adalah PKS dibandingkan dengan PAN yang sebenarnya memiliki citra sejarah lekat dengan Muhammadiyah. Selain itu, relasinya dengan kalangan non-Islam juga melemah, menjadikannya hampir sepenuhnya tak menjadi rujukan bagi kalangan ini.
Konstituen dari basis Muhammadiyah merupakan massa yang paling bingung saat ini.
Penurunan simpati dari kalangan Muhammadiyah sebetulnya sudah terbaca pada Pemilu 2014. Lewat survei pasca-pemilu (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas, tergambar hanya 16 persen penganut aliran Muhammadiyah yang memilih partai/calon anggota DPR dari PAN. Terbesar justru memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (25,5 persen). Menurut hasil survei Litbang Kompas terakhir, jika sekarang dilakukan pemilu legislatif, sebagian besar pemilih dari kalangan Muhammadiyah cenderung akan memilih PDI-P (22,6 persen) dan Gerindra (17 persen).

Mengentalnya politik aliran
KOMPAS/ALIF ICHWAN (AIC)
Mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PAN yang juga Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua Dewan  Majelis Syura PKS Salim Segaf Al’Jufrie, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden PKS Sohibul Iman, dan Sekjen PKS Mustafa Kamal (dari kiri ke kanan) dalam acara Milad Ke-19 PKS di Jakarta, Minggu (30/4). Selepas Pemilu 2014, PAN berkoalisi dengan partai nonpemerintah meski belakangan menyatakan dukungan kepada pemerintahan Joko Widodo.
Kecenderungan PAN yang mengkristal sebagai partai aliran semakin dirasakan oleh berbagai kalangan, baik kalangan pendukung partai sendiri maupun di luar partai. Setelah Pemilu 2014, gambaran PAN sebagai partai yang terbuka, rumah politik bagi semua golongan agama dan etnis, semakin kabur. Survei Litbang Kompas pada Februari 2015 menangkap fenomena ini. Hanya 35,5 persen responden yang setuju bahwa PAN dikatakan sebagai partai terbuka; sebaliknya, 52 persen tidak setuju. Dampak Pemilu 2014 yang membawa isu pertentangan antara pluralisme politik dan Islamisme politik, bagaimanapun, turut berperan pada pandangan ini.
Tak dapat dimungkiri Pemilu 2014 adalah pemilu paling keras yang membelah masyarakat pada dua kubu ideologi, dengan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di sisi pluralis dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di sisi sebaliknya. Keikutsertaan PAN dalam Koalisi Merah Putih (KMP), dan munculnya figur Hatta sebagai pendamping Prabowo, sempat memberikan jarak citra PAN dari partai pluralis. Kesan ini tampaknya belum luntur meski kemudian partai itu mengubah langkah politiknya melalui koalisi dengan pemerintah. Berada dalam kontinum antara determinasi koalisi nasionalis dan citra keislamannya, PAN tak bergerak.
Ketiadaan figur populer yang cukup kuat di dalam tubuh PAN dan sepinya partai ini dari pergerakan yang terbaca publik membuatnya berada di titik kritis. Sementara partai-partai papan atas dan menengah lainnya sudah menampakkan kristalisasi pada tokoh, PAN masih menyisakan tanda tanya. PDI-P sudah terkristalisasi pada sosok Jokowi, Partai Gerindra dengan sosok Prabowo, Partai Demokrat dengan sosok Agus Harimurti Yudhoyono, Golongan Karya (Golkar) dengan Airlangga Hartarto, dan PKB dengan Muhaimin Iskandar, PAN belum menampakkan sosok yang cukup kuat.
Berada dalam kontinum antara determinasi koalisi nasionalis dan citra keislamannya, PAN tak bergerak.
Meski posisinya strategis, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, yang saat ini menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak menampilkan ambisi untuk menjadi orang nomor satu atau dua di negeri ini. Selain itu, namanya juga kurang populer.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE)
Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan (tengah), didampingi oleh Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN Sutrisno Bachir (kiri) dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, hadir dalam acara Rapat Pimpinan (Rapim) PAN di Jakarta, Minggu (27/3/2016). Rapim di antaranya membahas Pemilihan Kepala Daerah 2017 dan musyawarah daerah PAN. Ketiga sosok pemimpin PAN belum berhasil mendongkrak elektabilitas partai.
PAN bersama dengan PKS dan PPP sejauh ini belum melakukan gerakan yang signifikan untuk menyambut perhelatan politik yang paling menentukan eksistensi partai. PKS lebih diuntungkan oleh soliditas basis massanya selama ini yang mudah digerakkan dibandingkan dengan PAN yang massanya rentan berpindah haluan.
Dengan stagnasi, baik pada kritalisasi tokoh maupun ideologi, mampukah PAN melewati Pemilu 2019 yang hanya menyisakan celah sempit di antara dua bangunan besar PDI-P dan Gerindra? Hanya kepiawaian dalam strategi koalisi yang tampaknya akan menyelamatkannya. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas) (Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev