Skip to main content

Politik Kanan Eropa


Sejak pertengahan Desember lalu, Austria memiliki kanselir baru, Sebastian Kurz. Muda (31), bujangan, ganteng, dan pintar, Kurz mencatat rekor sebagai pemimpin termuda dalam sejarah Austria, bahkan dunia. Tak heran jika media dan publik Austria lebih tertarik pada penampilan dan personalitas sang kanselir.
Namun, bagi pemimpin dan analis politik di Eropa, bukan itu yang jadi pikiran. Mereka lebih perhatian pada pertanyaan: apakah dengan terpilihnya Kurz bandul politik Eropa akan berayun ke kanan. Meski Austria negara kecil berpenduduk 8,5 juta dan dinilai kurang berpengaruh di Uni Eropa (UE), keberanian Kurz berkoalisi dengan Freedom Party of Austria (FPA), parpol sayap kanan yang nasionalis, antimigran, dan anti-UE, bagi pemimpin Eropa adalah ”sesuatu”.
Betapa tidak, dalam dekade terakhir ini gerakan politik kanan di Eropa menunjukkan kebangkitannya. di Denmark, Hongaria, Finlandia, Perancis, Swedia, dan Belanda, dalam beberapa tahun terakhir popularitas partai sayap kanan meningkat dan berhasil meraup suara dalam pemilihan parlemen di atas 10 persen.
Data BBC, pada pemilihan parlemen beberapa tahun terakhir, partai kanan berhasil memenangi suara berturut-turut: Denmark dan Hongaria (21 persen), Finlandia (18 persen), Perancis (14 persen), Swedia (13 persen), dan Belanda (10 persen). Partai sayap kanan Denmark, Danish People’s Party (DPP), pada Pemilihan Parlemen 2015 sukses mendulang 21 persen suara, naik dari 12 persen pada 2011. Meski di bidang ekonomi cenderung mendukung kebijakan welfare state—yang umum dianut partai sayap kiri Eropa—partai ini mendukung kebijakan pembatasan migran dari negara-negara Muslim dan menolak kebijakan schengen visa(bebas kunjungan antar-anggota UE).
Di Perancis, meski kalah dalam pilpres, keberhasilan pimpinan partai sayap kanan, Partai Front Nasional, Marine Le Pen, ikut dalam kontestasi sudah prestasi tersendiri bagi gerakan politik kanan Eropa. Bayangkan, sebagai salah satu negara paling berpengaruh di UE, selain Jerman, Perancis berani meretas jalan bagi calon partai kanan sebagai presiden yang mengusung isu antimigran dan anti-UE; sebuah kebijakan yang dinilai bertentangan dengan ideologi UE. Namun, kegagalan Le Pen sebagai calon presiden Perancis tak berdampak negatif terhadap sentimen pendukung partai kanan di Eropa, setidaknya di Austria.
Di Austria, partai kanan FPA mendapat suara terbanyak ketiga (26 persen) dalam pemilihan parlemen Oktober lalu.
Ada hal menarik dari kebangkitan partai kanan Eropa ini: meski berhasil menggaet suara untuk anggota parlemen dalam kisaran 10-20 persen, tak satu pun partai kanan di enam negara itu yang diajak koalisi oleh partai pemenang untuk membentuk pemerintahan (kecuali di Finlandia meski koalisi dengan partai kanan akhirnya bubar). Eropa boleh menolak partai kanan masuk dalam pemerintahan, tetapi Austria punya cerita sendiri.
Kasus unik Austria
Austria contoh unik dalam gerakan politik kanan di Eropa. Berbeda dengan enam negara tadi, Austria tercatat sebagai negara yang dengan mulus membangun koalisi dengan partai kanan membentuk pemerintahan. Ada beberapa penjelasan. Pertama, isu imigrasi menjadi topik panas dalam perdebatan politik di beberapa negara Eropa, termasuk Austria. Meski isunya sama, posisi Austria dalam isu ini beda. Data Eurostat 2015 menunjukkan, Austria dan Jerman secara relatif adalah negara Eropa penerima pendatang terbesar setelah Luksemburg dan Malta.
Dua negara terakhir masing- masing menampung 42 dan 30 pendatang setiap 1.000 penduduknya. Austria dan Jerman masing-masing 19. Dengan rasio pendatang dan warga negara yang relatif tinggi, tentu Austria lebih banyak dihadapkan pada masalah-masalah sosial yang berdampak pada sikap politik masyarakat. Dengan tingkat kemakmuran yang tinggi dan jumlah penduduk relatif sedikit, Austria dipandang sebagai tanah harapan bagi para pengungsi.
Didorong kekacauan politik akibat perang di Afrika Utara dan Timur Tengah, arus pengungsi ke Austria kian banyak. Secara geografis, Austria yang terletak di jantung Eropa memang ideal jadi titik persinggahan pertama pengungsi, sebelum ditempatkan di negara penampung lain di Eropa. Menampung pengungsi bagi pemerintah mungkin karena alasan kemanusiaan. Namun, tidak bagi rakyat awam: bertambahnya pengungsi berarti berkurangnya kesempatan kerja dan tunjangan sosial. Pengungsi Timteng yang Muslim dikhawatirkan tak dapat beradaptasi dengan nilai-nilai lokal sehingga menggerus identitas nasional. Sentimen seperti inilah yang kemudian dimainkan oleh partai kanan yang memang secara ideologis antimigran.
Kedua, trauma sejarah masa lalu. Austria memiliki pengalaman pahit terhadap Islam. Perseteruan abad ke-17 antara Kerajaan Hapsburg (Austria) dan Kesultanan Utsmaniyah (Turki) menyisakan luka terpendam di Austria. Perang akibat perluasan pengaruh Islam ke Eropa Tengah itu sampai kini masih membekas: Austria tak akan pernah menyetujui jika Turki ingin menjadi anggota UE. Trauma sejarah seperti inilah yang akhirnya membangun persepsi bahwa imigran Muslim adalah ancaman karena menggerus identitas kultural dan kesempatan kerja. Persepsi ini dimainkan oleh partai kanan untuk meraup suara. Terbukti, partai kanan FPA menjadi pengumpul suara nomor tiga terbanyak.
Dengan persepsi publik yang sedemikian kuat anti terhadap migran, terutama pengungsi Timur Tengah, ditambah posisi sebagai pemenang ketiga pemilu, FPA punya posisi tawar tinggi berkoalisi dengan partai Kurz yang berhaluan konservatif.
Efek ke lanskap Eropa
Ikut sertanya partai kanan dalam pemerintahan di Austria menyodorkan setidaknya tiga isu kritis tentang masa depan lanskap politik Eropa. Pertama, muncul kerisauan situasi politik domestik Austria memberikan inspirasi bagi partai sayap kanan di Eropa lain untuk mempertanyakan kembali raison d’etre (alasan keberadaan) entitas UE. Galibnya, ideologi partai kanan tak jauh dari tiga isu: nasionalisme, antimigran, dan anti-UE.
Demikian halnya FPA yang juga anti-UE. Mereka kini ada
di pemerintahan dan memegang posisi politik kunci: wakil kanselir, mendagri, menlu, dan menteri pertahanan. Betul bahwa kontrak politik di antara kedua partai koalisi ini salah satunya adalah tetap setia kepada UE dan tak mengadakan referendum
terhadapnya. Namun, jika partai kanan ini dinilai berpihak kepada rakyat Austria, terkait perlakuan terhadap migran/pengungsi, dan kritis terhadap kebijakan Brussels (markas UE), tak mustahil popularitasnya naik dan sikap politiknya yang anti-UE dapat pijakan kian kuat di masyarakat.
Kedua, sikap kritis Pemerintah Austria terhadap Brussels akan memantik skeptisisme publik terhadap UE: apa manfaat entitas itu bagi rakyat. Jika pemerintah saat ini sukses membendung arus migran/pengungsi dan menjamin tunjangan sosial bagi rakyat tak berkurang, dalam jangka panjang bukan tak mungkin rakyat Austria akan menyuarakan referendum untuk keluar dari UE. Meski saat ini terlalu dini memastikan hal itu terjadi, setidaknya keberanian pemerintah berkoalisi dengan partai kanan yang anti-UE menyampaikan satu pesan: seberapa pun kuatnya sistem kelembagaan UE, jika partai kanan masuk pemerintahan, terbuka kemungkinan untuk mempertanyakan keberadaan entitas regional itu.
Ketiga, menguatnya ayunan politik Eropa ke kanan mencuatkan dilema dan paradoks bagi UE. Dalam aras ideal, UE mengusung nilai kemanusiaan, kebebasan, dan demokrasi. Sukses partai kanan Austria ini bisa memberikan inspirasi bagi partai serupa di Eropa bahwa sikap politik antimigran mendapat tempat dalam perpolitikan di Eropa. Beberapa tahun lalu, Inggris, Perancis, Spanyol, Belgia, dan Norwegia menyaksikan kekerasan dan teror yang berlatar belakang sentimen etnik dan agama.
Konsisten dengan ideologinya, UE membuka keran bagi pendatang untuk bekerja di negara anggota. Namun, para migran dinilai merebut porsi rezeki penduduk lokal dalam kesempatan kerja sehingga muncullah kecemburuan sosial-ekonomi. Tampak jelas idealisme kemanusiaan UE justru membuhulkan sentimen antimigran. UE menghadapi dilema: di satu pihak promigran adalah amanat ideologi, di pihak lain sikap antimigran di tengah publik makin tumbuh. Bahkan, menurut laporan majalah Time (September 2016), Slowakia, Estonia, Bulgaria, dan Polandia secara terang-terangan menegaskan hanya akan menerima pengungsi yang beragama Kristen atau tidak sama sekali. Apabila politik antimigran ini mendapat angin di perpolitikan Eropa, muncul paradoks: di satu pihak kemanusiaan dan kebebasan diusung sebagai ideologi, di pihak lain politisi mengangkat isu antimigran sebagai jualan politik.
Ada kekhawatiran politik antimigran akan menguat, apalagi ketika perang di Timur Tengah tak kunjung usai. Semakin
banyaknya pengungsi bisa membuat kian populernya politik kanan di Eropa. Menjadi pertanyaan: apakah dengan banyaknya jumlah migran di Eropa bandul politik Eropa akan mengayun semakin ke kanan? Data Eurostat 2015, negara di Eropa dengan jumlah pendatang terbanyak: Jerman (8,7 juta), Inggris (5,6 juta), Italia (5 juta), Spanyol (4,4 juta), dan Perancis (4,4 juta). Dari kelima negara, hanya di Perancis partai kanan memperoleh suara cukup tinggi (14 persen) dalam pemilihan parlemen. Dilihat dari proporsi pendatang, Austria, Belgia, dan Jerman menampung pendatang lebih dari 10 persen dari jumlah warga negaranya.
Dari ketiga negara, hanya di Austria partai sayap kanan meraup suara signifikan, 26 persen. Di Belgia dan Jerman 6 persen dan 4,7 persen. Dari data ini terlihat tak ada hubungan linear antara banyaknya migran dan besarnya dukungan bagi partai kanan di Eropa. Ayunan politik kanan di Eropa saat ini belum sampai pada tahap mengkhawatirkan. Entah nanti. Ke mana politik kanan Eropa ini akan berayun sangat tergantung bagaimana elite Eropa mengejawantahkan nilai-nilai UE (kemanusiaan, kebebasan, demokrasi). Waktu akan menguji, apakah UE konsisten dengan idealisme itu sampai pada tataran praksis.
Darmansjah Djumala Diplomat, Bertugas di  Vienna, Austria, dan Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev