Terhitung sejak 18 Oktober 2009 saya adalah buruh kontrak pada sebuah perusahaan yang cukup ternama di Indonesia sebagai produsen Glassware dan Porcelain.
Keputusan untuk mengikatkan diri secara kontraktual dengan perusahaan ini sebenarnya adalah keputusan yang cukup sulit bagi saya. Pertama, karena saya sadar bahwa kondisi buruh kontrak sudah barang tentu pasti tidak menyenangkan, kedua, sebagai buruh kontrak diperusahaan besar apalagi ditempatkan pada posisi eksport pastilah menuntut "konsentrasi" kerja yang besar pula, sementara sebenarnya saya juga sedang membangun sebuah usaha bersama beberapa kawan.
Dengan sangat sadar saya tahu bahwa tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang mau menjadi tenaga kerja tanpa ada kepastian, termasuk juga saya. Namun saya juga sadar bahwa untuk memperoleh pengetahuan adakalanya dibutuhkan pengorbanan yang lumayan besar. Karena itulah saya memberanikan diri untuk menjebakkan diri saya didalam kontrak kerja dengan perusahaan saya sekarang.
Dengan penghasilan yang minim untuk posisi seperti yang saya duduki sekarang, ditambah berbagai ketidakpastian dan minimnya jaminan, tentu saya akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan bagi kawan-kawan saya lainnya.
Namun demikian hal tersebut tidak lantas membuat saya kecil hati untuk menerima dipekerjakan secara kontrak di perusahaan ini. Rasa ingin tahu dan ingin "merasakan" yang menjadi bahan pertimbangan utama saya untuk menerima kontrak dengan perusahaan ini. Saya ingin tahu tentang apa yang dikerjakan oleh seorang assistant export sales manager, dan ingin merasakan bagaimana menjadi "tenaga kerja" sesungguhnya di Indonesia.
Dalam satu bulan ini, selain belajar mengenai penjualan export beserta sistem dokumentasinya, saya juga belajar merasakan bagaimana menjadi buruh kontrak yang ternyata jauh dari sentuhan organisasi serikat buruh.
Tidak hanya saya yang dalam posisi yang cukup lumayan namun dipekerjakan sebagai buruh kontrak. Bahkan manager yang nota bene adalah atasan saya pun adalah buruh kontrak, dan hanya jumlah penghasilan yang membedakan kami.
Menilik aturan ketenagakerjaan memang seharusnya posisi di departemen Export tidak bisa menggunakan sistem kontrak. Namun apa lacur, alasan mencari pengalaman, belajar dan suasana kerja menjadikan sistem kerja yang tidak patut ini akhirnya kami terima.
Bagi saya sendiri, apa yang ada dibenak saya sebagai buruh kontrak adalah prinsip kebebasan berkontrak. Artinya jika saya sudah tidak ingin lagi meneruskan maka dapat saja saya meminta pemutusan kontrak. Walaupun yang demikian tidaklah mudah dilaksanakan. Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dengan jelas menyebutkan adanya kewajiban untuk "mengganti rugi" jika ditengah perjalanan kontrak itu saya meminta untuk putus kontrak, jelas hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan kewajiban perusahaan jikalau ia yang memutuskan kontrak. Nyata benar bagi saya saat ini bahwa UU Ketenagakerjaan kita sangatlah tidak berpihak pada pekerja.
UU ini justru tidak memberi perlindungan semestinya bagi para tenaga kerja. Tidak heran kenapa UU ini dituntut untuk dicabut justru oleh kalangan pekerja itu sendiri.
Namun sebagai seorang yang yakin bahwa segala rizki adalah kepunyaan ALLAH, saya juga merasa yakin bahwa saya dapat juga mendudukan posisi saya untuk paling tidak berada dalam posisi yang bebas menentukan kerberlangsungan kontrak kerja antara saya dan perusahaan. Tidak sedikitpun saya takut untuk tidak dipekerjakan lagi di perusahaan ini kalau saya tidak mau lagi memperpanjang kontrak.
Apa yang saya rasakan ini mungkin juga dirasakan oleh kolega saya di departemen eksport yang sama-sama di kontrak. Namun bagaimana dengan buruh pabrik? Apakah mereka juga merasa sama?
Keputusan untuk mengikatkan diri secara kontraktual dengan perusahaan ini sebenarnya adalah keputusan yang cukup sulit bagi saya. Pertama, karena saya sadar bahwa kondisi buruh kontrak sudah barang tentu pasti tidak menyenangkan, kedua, sebagai buruh kontrak diperusahaan besar apalagi ditempatkan pada posisi eksport pastilah menuntut "konsentrasi" kerja yang besar pula, sementara sebenarnya saya juga sedang membangun sebuah usaha bersama beberapa kawan.
Dengan sangat sadar saya tahu bahwa tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang mau menjadi tenaga kerja tanpa ada kepastian, termasuk juga saya. Namun saya juga sadar bahwa untuk memperoleh pengetahuan adakalanya dibutuhkan pengorbanan yang lumayan besar. Karena itulah saya memberanikan diri untuk menjebakkan diri saya didalam kontrak kerja dengan perusahaan saya sekarang.
Dengan penghasilan yang minim untuk posisi seperti yang saya duduki sekarang, ditambah berbagai ketidakpastian dan minimnya jaminan, tentu saya akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan bagi kawan-kawan saya lainnya.
Namun demikian hal tersebut tidak lantas membuat saya kecil hati untuk menerima dipekerjakan secara kontrak di perusahaan ini. Rasa ingin tahu dan ingin "merasakan" yang menjadi bahan pertimbangan utama saya untuk menerima kontrak dengan perusahaan ini. Saya ingin tahu tentang apa yang dikerjakan oleh seorang assistant export sales manager, dan ingin merasakan bagaimana menjadi "tenaga kerja" sesungguhnya di Indonesia.
Dalam satu bulan ini, selain belajar mengenai penjualan export beserta sistem dokumentasinya, saya juga belajar merasakan bagaimana menjadi buruh kontrak yang ternyata jauh dari sentuhan organisasi serikat buruh.
Tidak hanya saya yang dalam posisi yang cukup lumayan namun dipekerjakan sebagai buruh kontrak. Bahkan manager yang nota bene adalah atasan saya pun adalah buruh kontrak, dan hanya jumlah penghasilan yang membedakan kami.
Menilik aturan ketenagakerjaan memang seharusnya posisi di departemen Export tidak bisa menggunakan sistem kontrak. Namun apa lacur, alasan mencari pengalaman, belajar dan suasana kerja menjadikan sistem kerja yang tidak patut ini akhirnya kami terima.
Bagi saya sendiri, apa yang ada dibenak saya sebagai buruh kontrak adalah prinsip kebebasan berkontrak. Artinya jika saya sudah tidak ingin lagi meneruskan maka dapat saja saya meminta pemutusan kontrak. Walaupun yang demikian tidaklah mudah dilaksanakan. Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dengan jelas menyebutkan adanya kewajiban untuk "mengganti rugi" jika ditengah perjalanan kontrak itu saya meminta untuk putus kontrak, jelas hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan kewajiban perusahaan jikalau ia yang memutuskan kontrak. Nyata benar bagi saya saat ini bahwa UU Ketenagakerjaan kita sangatlah tidak berpihak pada pekerja.
UU ini justru tidak memberi perlindungan semestinya bagi para tenaga kerja. Tidak heran kenapa UU ini dituntut untuk dicabut justru oleh kalangan pekerja itu sendiri.
Namun sebagai seorang yang yakin bahwa segala rizki adalah kepunyaan ALLAH, saya juga merasa yakin bahwa saya dapat juga mendudukan posisi saya untuk paling tidak berada dalam posisi yang bebas menentukan kerberlangsungan kontrak kerja antara saya dan perusahaan. Tidak sedikitpun saya takut untuk tidak dipekerjakan lagi di perusahaan ini kalau saya tidak mau lagi memperpanjang kontrak.
Apa yang saya rasakan ini mungkin juga dirasakan oleh kolega saya di departemen eksport yang sama-sama di kontrak. Namun bagaimana dengan buruh pabrik? Apakah mereka juga merasa sama?
Comments
Post a Comment