Skip to main content

Belajar Ketenagakerjaan Dari Kawan Yang Ditahan Akibat Laping

Senin siang (28/9) seorang kawan kecil menelepon dengan suara yang terdengar gusar, tidak seperti biasanya. “Dot, gua ditahan ama kantor gak boleh kemana-mana karena ketahuan memakai uang setoran, tolong lu kasih tau bini gua, kalau bisa ke kantor, kalau bisa juga lu anterin yah” begitu kawanku itu menjelaskan. Seolah tak peduli dengan kondisi lawan bicaranya, terus saja ia menceritakan kejadian yang membuatnya ditahan di kantor.

Sambil sedikit menarik nafas beristirahat dari aktivitasku, kusempatkan untuk menanyakan lebih detail permasalahan yang dihadapi kawan tersebut. Dari ceritanya, kusimpulkan bahwa ia dalam keadaan kalut dan sedang tidak dapat berpikir lebih jernih. Karna itu kujelaskan bahwa, istilah “tahanan” dalam arti hukum hanya dapat dilakukan oleh pejabat penegak hukum, bukan warga sipil, kalaupun ada warga sipil yang merenggut kebebasan warga sipil lainnya dengan penahanan, itu namannya penculikan. Dengan alasan kondisi saat itu tidak memungkinkan bagiku untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai istilah ini, maka aku hanya menganjurkan kepadanya untuk tetap konsentrasi dan selalu mencatat segala tindakan yang diperbuat oleh penahan dan dirinya sendiri, sambil terus koordinasi denganku. Selain memenuhi permintaannya untuk membawa dan menemani istrinya menghadap kekantornya.

Kutemui istri kawanku itu dan menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi suaminya (kawanku) dan memintanya untuk bersiap berangkat ke kantor suaminya.

Setelah siap, kamipun berangkat kekantor tersebut. Memasuki ruang kantor itu, tampak beberapa muka sinis melihat kami. Aku maklum atas hal tersebut dan tanpa menghiraukannya langsung menuju ruangan dimana kawanku itu ditahan.

Ternyata, didalam ruang itu sudah ada empat orang lain selain kawanku. Dua diantaranya ternyata mengalami kasus serupa, dan ada satu orang tua dari salah seorang dari tiga karyawan “bermasalah”.

Karena saat itu manajer dari kawanku (orang yang menahannya) sedang bicara dengan sangat berapi-api, aku hanya bisa menyimak apa yang sedang dibicarakannya saja tanpa berusaha memotong pembicaraannya. Tampak saat itu sang manajer berusaha untuk menekan orang tua dari salah seorang karyawan bermasalah ini untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan anaknya memakai uang setoran tanpa hak. Berbagai dalih dan pembelaan terlontar dari si orang tua itu dan dengan sigap sang manajer juga mengutarakan pembelaannya.

Hampir setengah jam membisu, setelah kulihat ada kesempatan bicara, maka kuberanikan diri untuk bicara. Kutanyakan tentang istilah penahanan ini sambil ku uraikan aturan hukum sebagaimana kutahu. Kuminta penjelasan dari sang manajer apakah benar kawanku itu ditahan? Sambil kulanjutkan dengan pernyataan bahwa kalau benar demikian maka tidak ada yang dapat ku lakukan kecuali menunggunya lebih dari 1 x 24 jam sebelum kubuat laporan kepada polisi tentang tindak pidana penculikan (merampas kemerdekaan orang lain). Tampak terlihat oleh kami yang ada di ruang itu, wajah sang manajer yang seketika berubah.

Mendapati kesempatan yang semakin luas, kulanjutkan aksiku dengan menanyakan tentang status ketenagaakerjaan dari masing-masing orang yang bermasalah ini, sambil tidak lupa ku kutipkan aturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Sengaja kutipan itu kusampaikan untuk mendudukkan permasalahan pada tempat semestinya dalam hubungan kerja.

Entah karena tidak menguasai mengenai aturan tersebut atau apa, namun nampak jelas bahwa sang manajer sudah melunak tidak segalak ketika pertama kali kumasuk ruangannya. Menyadari kondisi yang mulai seimbang ini, kulanjutkan aksiku untuk meminta sang manajer untuk tidak melakukan penekanan dalam bentuk apapun terhadap mereka yang bermasalah termasuk keluarganya yang datang. Sambil sedikit mengancam bahwa aku siap untuk memfasilitasi semua yang ada diruang tersebut untuk memperoleh bantuan hukum dan membuat laporan atas tindak pidana ketenagakerjaan dan ancaman terhadap kebebasan, sekali lagi kuminta sang manajer untuk tidak menggunakan cara-cara menekan pihak lain.

Karena kulihat sang manajer semakin lunak, maka ku lunakkan juga argumentasiku sambil meminta konfirmasi kepada semua yang bermasalah ini bahwa mereka akan berkomitmen menyelesaikan permasalahannya.

Setalah bicara mengenai detail dan bukti-bukti tentang adanya penggunaan uang setoran tanpa hak tersebut, akhirnya kami bersepakat untuk membuat perjanjian penyelesaian secara kekeluargaan. Setelahnya kami pun bisa berbicara lebih santai dan banyak berbasa-basi.

Freelance Bukan Tenaga Kontrak

Selama berargumentasi dengan sang manajer ada hal aneh yang mengganggu pikiranku berkenaan dengan status pekerjaan kawanku dan temannya yang sedang bermasalah hari ini. Dikatakan oleh sang manajer bahwa ketiganya berstatus sebagai freelance. Mendengar istilah yang cukup unik ini langsung saja kumintakan penjelasan berkenaan dengan hal tersebut.

Ia menjelaskan bahwa ketiganya berstatus sebagai enterpreneur yang bukan tenaga kerja kontrak apalagi tenaga kerja tetap. Enterpreneur menurutnya adalah orang yang dipekerjakan secara khusus oleh perusahaan untuk menangani pekerjaan tertentu, dalam hal ini adalah membantu kerja kolektor dan atau bidang lain yang dibutuhkan.

Mendengar penjelasan yang demikian tentu membuatku menjadi semakin bertanya-tanya, dan mungkin ini terlihat dari raut muka penasaranku. Manajer itu kembali menjelaskan bahwa entrepreneur dapat saja menjadi tenaga kerja kontrak bahkan memungkinkan untuk menjadi tenaga kerja tetap. Disini ia mencoba menjelaskan bahwa entrepreneur seolah sebuah sistem jenjang jabatan didalam perusahaan.

Dengan cara bercerita yang demikian, langsung saja kutanyakan tentang ada tidaknya kontrak atau bentuk kesepakatan lainnya yang dibuat dan ditandatangani oleh perusahaan dan para enterpreneur tersebut. “Tidak ada, itu semua didasari atas kepercayaan dan kemanusiaan” begitu kilahnya. Ia berdalih bahwa semua enterpreneur ini bekerja atas jaminan kepercayaan dari penjaminnya yang taklain adalah tenaga kerja kontrak atau karyawan tetap perusahaan. Lebih dari itu, cukup terhenyak saya mendengar pernyataan si manajer bahwa semua enterpreneur di perusahaan ini sudah tahu mengenai pejelasan yang baru saja diberikan kepadaku. Tak lupa pula ia seolah menunjukkan bahwa perusahaannya sangat manusiawi dengan mengutarakan bahwa pola entrepreneur itu digunakan untuk mengatasi pengangguran dan membantu masyarakat sekitar kantor untuk memperoleh penghasilan dengan metode insentif bulanan yang jumlahnya ditentukan berdasarkan prestasi jumlah tagihan yang berhasil dimasukkan kedalam kas perusahaan.

Entrepreneur, tanpa ikatan tertulis, tugas tetap, dibayar bulanan. Aneh juga memang pola perekrutan tenaga kerja yang demikian. Sepanjang pengetahuanku tentang peraturan ketenagakerjaan, hal ini jelas tidak dibenarkan. Namun aku juga hanya dapat menelan ludah mendapati kenyataan demikian ini dalam praktek ketenagakerjaan. Ada ada saja memang metode perusahaan untuk meningkatkan keuntungannya dengan mempekerjakan orang tanpa ikatan yang jelas.

Menarik, apa yang disampaikan bapak yang telah lebih dahulu ada di ruang manajer itu bahwa anaknya sebenarnya “terjebak” dalam pilihan “ketimbang tidak bekerja?” Walaupun, sang manajer tidak terlalu berkenan dengan istilah terjebak. Sang manajer berkeras bahwa walaupun berstatus entrepreneur mereka itu tetap bekerja/pekerja. Entah bercanda atau tidak, sang manajer mendalihkan bahwa toh ketiga orang yang sekarang bermasalah ini, ijin keluar rumahnya dengan mengatakan bahwa mereka mau berangkat kerja? Sebuah lelucon yang menyedihkan, kalau memang itu adalah lelucon.


Masalah Ketenagakerjaan Lain

Entah bermaksud curhat atau sekedar menunjukan succes story-nya, sang manajer tanpa malu-malu bercerita tentang dirinya yang dahulu juga adalah collector untuk sebuah perusahaan pembiayaan, sebelum akhirnya menjadi manajer seperti sekarang ini. Ia juga menceritakan pahit getir usahanya untuk mencapai jabatan yang disandangnya sekarang.

Namun yang menarik bagiku adalah ceritanya mengenai permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan tempat temanku “bekerja” ini. Ia menjelaskan bahwa kantor tempat kawanku kerja ini adalah kantor cabang yang tidak memiliki otonomi, semuanya masih harus tergantung approval dari pusat. Bahkan gaji, bonus dan imbalan kerja lainnya sangat bergantung kantor pusatnya.

Ia menceritakan bahwa seringkali pekerja di kantor cabang ini terlambat menerima gaji atau bonus lainnya, bahkan bisa sampai lebih dari tiga bulan. Dalam hal perekrutan pegawai juga demikian. Sang manajer juga menceritakan bahwa untuk dapat mengangkat seseorang menjadi tenaga kontrak saja, butuh persetujuan dari kantor pusat dan seringkali kendala teknis administratif menambah sulitnya permasalahan ini. Entah dengan tujuan apa, ia juga sempat menceritakan bahwa menghadapi lebaran kemarin saja, dirinya yang manajer, belum memegang uang dan untuk menambah suasana haru dalam ceritanya, ia menambahkan bahwa sampai saat ini ia pun masih tinggal dirumah kontrakan. Mengharukan memang cerita manajer asal Maluku ini.

Di akhir cerita ia mengulang kembali bahwa tak penting baginya status pekerjaan selama penghasilan dari kerja itu masih dapat diperolehnya. Seolah ingin mengajarkan kepada para entrepreneur bermasalah, ia mengatakan bahwa yang diperlukan adalah usaha dan kesabaran yang besar untuk dapat sukses seperti dirinya.

Ketika kucoba untuk menayakan kenapa tidak meminta atau menuntut perbaikan, toh apa yang dituntut juga merupakan hak pekerja dan tentu akan berdampak pada produktifitas? Ia berdalih bahwa, “tak perlu menuntut, yang penting adalah kesabaran dan cerdas menerima kenyataan kalau gaji bisa terlambat lebih dari tiga bulan, belum diangkat menjadi tenaga kontrak walau sudah diajukan oleh cabang, atau menjadi tenaga kerja tetap dan seterusnya.

Mendengar “kepasrahan” demikian membuatku hanya bisa terdiam dan berpikir, beginikah cara pandang kebanyakan kita terhadap masalah ketenagakerjaan? Bekerja tanpa ikatan jelas tidak mengapa yang penting ada penghasilan, penghasilan tidak sesuai jerih payah yang dikeluarkan tidak masalah selama masih ada untuk makan, keselamatan kerja tidak dijamin bukan masalah kalau memang sudah saatnya celaka toh gak bisa dihindari dan tidak selamnya orang celaka, bekerja lebih dari waktu yang sebanding penghasilan dianggap prestasi dan seterusnya…dan seterusnya…. Beginikah cara pandang kebanyakan kita di Indonesia mengenai ketenagakerjaan?
Semoga saja tidak, karena kita semua diberi akal untuk berpikir dan badan untuk bekerja bukan untuk diperbudak dengan alasan atau bentuk apapun juga.

Comments

Popular posts from this blog

PIPIN CEPLOS

Entah kenapa sejak kemarin malam 19/03 pikiran saya “terganggu” dengan akan berlangsungnya Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Mungkin karena halangan saat pulang kantor ketika saya (ternyata) melalui kantor KPUD DKI yang sedang dipenuhi massa pendukung FOKE – NARA, atau mungkin karena memang sedang “iseng” atau bisa jadi karena pikiran lagi kepingin dibawa serius. Namun yang pasti hingga malam ini 20/03, “gangguan” tersebut masih tersisa dikepala saya. Pagi tadi, saya coba berselancar di jagat maya, mencari tahu siapa saja yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal calon pemimpin di DKI Jakarta ini. Ternyata sudah ramai pasangan yang mendaftarkan diri di KPUD DKI. Ada Alex –Nono, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Foke-Nara, Hidayat-Didik yang kesemuanya didukung partai atau koalisi partai atau “mencoba untung” dari dukungan partai. Hanya satu pasangan bakal calon yang menarik perhatian saya Faisal-Biem yang diusung melalui jalur independen. Dari awal memang saya sudah menaruh antipati ter

Dapat Link Buku

Buat temans yang senang membaca lewat komputer, Ada hadiah dari seorang kawan yang juga penikmat e-book. Sayang, saya belum sempat preview semua halaman websitenya, jadi saya belum dapat memberi cerita apapun tentang hal ini. Coba jelajahi di perpustakaan digital ini .

Pendidikan Ganda demi Bonus Demografi

DJOKO SANTOSO DIDIE SW . Daripada tidak, Indonesia lebih baik sedikit terlambat untuk memulai sistem pendidikan ganda dalam pendidikan tinggi. Sistem ini sukses diterapkan Jerman dan ditiru banyak negara Eropa, termasuk menjadi pendo- rong kemajuan Korea Selatan. Maka, wajar jika Presiden Joko Widodo meminta agar hal tersebut segera serius dilaksanakan. Presiden memang berkali-kali menekankan relasi antara pendidikan dan kebutuhan nyata sesuai perkembangan cepat zaman. Lantas apa pentingnya dan bagaimana sebenarnya cara kerja dari sistem pendidikan ganda? Bagaimana perguruan tinggi bersama perusahaan industri bisa menerapkan pendidikan kejuruan dan pelatihannya tersebut dengan sukses? Jerman menerapkan sistem pendidikan ganda dalam upaya mempercepat penyejahteraan penduduknya. Sistem ini menghasilkan kontribusi besar dari sejumlah besar kaum muda yang berketerampilan khusus. Model pendidikan praktis ini dapat melatih kaum muda dalam keterampilan yang relev