Pernah menonton acara reality show televisi bertajuk “Uang Kaget” atau “10 X Lipat” atau “Renovasi Rumah” atau “Tolong” atau yang masih tayang “Andai Aku Menjadi” ? Atau mungkin pernah menyaksikan acara televisi yang bertemakan “kedermawanan sosial” lainnya yang semakin semarak di layar televisi kita sekarang ini?
Saya teringat dengan sebuah wawancara televisi yang menanyai salah seorang pioneer acara reality show bertemakan kedermawanan sosial. Ketika ditanya apa alasannya membuat acara reality show yang menayangkan “bantuan” kepada orang-orang miskin ia menjawab bahwa hal tersebut untuk semakin memupuk “kepedulian sosial” dan menjembatani antara orang-orang kaya dan miskin yang ada di Indonesia. Alasan lainnya yang ia kemukakan adalah bahwa acara sejenis seperti yang dibuatnya ternyata memiliki daya tarik tersendiri sesuai dengan watak “kekeluargaan” masyarakat Indonesia
Pertama kali melihat acara “Milyuner” yang menampilkan orang tidak mampu yang terpilih untuk diberi kesempatan berbelanja selama 60 menit oleh sang milyuner, hal itu tidak terlalu menggangu pikiran. Namun ketika mulai ada generasi berikutnya dari tayangan sejenis, pikiran iseng saya mulai terusik. Apalagi kini dengan varian barunya, tayangan reality show bertema “kedermawanan sosial”mulai menjamur di beberapa stasiun TV nasional kita. Seorang teman memberikan komentar dan julukan untuk acara yang demikian ini dengan “(men)Jual(an) Kemiskinan”.
Tertarik dengan komentar kawan tersebut, saya mencoba untuk mencari sendiri alasan yang menurut saya paling logis dari penjulukan yang teman saya berikan.
Pertama saya mengamati kapan acara-acara tersebut ditayangkan. Acara-acara tersebut rata-rata ditayangkan mulai pukul 16-19 WIB oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional. Dari hasil pengamatan itu, saya coba melihat klasifikasi waktu tayang tersebut di masing-masing stasiun TV. Dari hasil pengamatan tanpa “metode penelitian” ala kampus, ternyata acara relity show demikian tayang pada klasifikasi waktu yang tidak terbilang murah walaupun bukan pada saat prime time.
Semakin tertarik dengan hasil pengamatan tersebut saya mencoba mencari tahu berapa biaya penempatan iklan di waktu tayang acara yang dijuluki “menjual kemiskinan” oleh teman saya itu. Mudah ditebak, hasilnya adalah bahwa spot iklan di jam tayang tersebut berharga jauh diatas rata-rata penghasilan perkapita penduduk Indonesia perbulan yang terbilang miskin menurut penggolongan lembaga keuangan internasional.
Sambil mengingat pelajaran yang pernah diterima di kampus, saya mencatat berapa jumlah iklan yang tampil dalam setiap tayangan ini di masing-masing stasiun TV. Dengan mengkalikan hasil pendataan tersebut dengan biaya per-spot iklan yang dikenakan, saya peroleh total nilai yang diterima oleh stasiun TV yang menayangkan acara “(men) jual (an) kemiskinan“ ini. Tidak sedikit keuntungan yang mampu diraup Stasiun TV dari penayangan acara demikian.
Mencoba untuk berpikir dari sisi production house, secara kasar saya mencoba menghitung berapa biaya yang mereka butuhkan untuk menghasilkan acara “(men) jual (an) kemiskinan“ ini. Tidak kecil memang, namun ia lebih kecil ketimbang memproduksi sinetron yang paling tidak harus juga membiayai tidak sedikit artis yang menjadi para pemerannya. Namun demikian, keyakinan saya berkata bahwa tidak mungkin ada PH yang mau membuat acara secara gratis. “Keuntungan” pasti diraih oleh pebisnis PH walaupun masih harus berbagi dengan berbagai pihak mulai dari perusahaan iklan sampai pemerintah Indonesia.. Sangat pantas untuk menjadi alasan pembenar bagi mereka untuk memproduksi acara sejenis dengan bermacam variannya.
Kurang puas dengan hasil pengamatan, saya mencoba mencatat berapa jumlah uang atau hadiah yang biasanya diterima oleh orang miskin yang ditayangkan telah :”dibantu” kemudian membandingkan hasil yang diperoleh masing-masing pihak. Dan mudah ditebak, si miskin memperoleh bagian terkecil dari keuntungan tayangan reality show ini.
Dari sini saya sudah semakin memperoleh penjelasan logis dari penjulukan oleh teman saya tersebut. Bener kawan, mereka memang “(men) jual (an)” kemiskinan dan memperoleh untung darinya.
Saya teringat dengan sebuah wawancara televisi yang menanyai salah seorang pioneer acara reality show bertemakan kedermawanan sosial. Ketika ditanya apa alasannya membuat acara reality show yang menayangkan “bantuan” kepada orang-orang miskin ia menjawab bahwa hal tersebut untuk semakin memupuk “kepedulian sosial” dan menjembatani antara orang-orang kaya dan miskin yang ada di Indonesia. Alasan lainnya yang ia kemukakan adalah bahwa acara sejenis seperti yang dibuatnya ternyata memiliki daya tarik tersendiri sesuai dengan watak “kekeluargaan” masyarakat Indonesia
Pertama kali melihat acara “Milyuner” yang menampilkan orang tidak mampu yang terpilih untuk diberi kesempatan berbelanja selama 60 menit oleh sang milyuner, hal itu tidak terlalu menggangu pikiran. Namun ketika mulai ada generasi berikutnya dari tayangan sejenis, pikiran iseng saya mulai terusik. Apalagi kini dengan varian barunya, tayangan reality show bertema “kedermawanan sosial”mulai menjamur di beberapa stasiun TV nasional kita. Seorang teman memberikan komentar dan julukan untuk acara yang demikian ini dengan “(men)Jual(an) Kemiskinan”.
Tertarik dengan komentar kawan tersebut, saya mencoba untuk mencari sendiri alasan yang menurut saya paling logis dari penjulukan yang teman saya berikan.
Pertama saya mengamati kapan acara-acara tersebut ditayangkan. Acara-acara tersebut rata-rata ditayangkan mulai pukul 16-19 WIB oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional. Dari hasil pengamatan itu, saya coba melihat klasifikasi waktu tayang tersebut di masing-masing stasiun TV. Dari hasil pengamatan tanpa “metode penelitian” ala kampus, ternyata acara relity show demikian tayang pada klasifikasi waktu yang tidak terbilang murah walaupun bukan pada saat prime time.
Semakin tertarik dengan hasil pengamatan tersebut saya mencoba mencari tahu berapa biaya penempatan iklan di waktu tayang acara yang dijuluki “menjual kemiskinan” oleh teman saya itu. Mudah ditebak, hasilnya adalah bahwa spot iklan di jam tayang tersebut berharga jauh diatas rata-rata penghasilan perkapita penduduk Indonesia perbulan yang terbilang miskin menurut penggolongan lembaga keuangan internasional.
Sambil mengingat pelajaran yang pernah diterima di kampus, saya mencatat berapa jumlah iklan yang tampil dalam setiap tayangan ini di masing-masing stasiun TV. Dengan mengkalikan hasil pendataan tersebut dengan biaya per-spot iklan yang dikenakan, saya peroleh total nilai yang diterima oleh stasiun TV yang menayangkan acara “(men) jual (an) kemiskinan“ ini. Tidak sedikit keuntungan yang mampu diraup Stasiun TV dari penayangan acara demikian.
Mencoba untuk berpikir dari sisi production house, secara kasar saya mencoba menghitung berapa biaya yang mereka butuhkan untuk menghasilkan acara “(men) jual (an) kemiskinan“ ini. Tidak kecil memang, namun ia lebih kecil ketimbang memproduksi sinetron yang paling tidak harus juga membiayai tidak sedikit artis yang menjadi para pemerannya. Namun demikian, keyakinan saya berkata bahwa tidak mungkin ada PH yang mau membuat acara secara gratis. “Keuntungan” pasti diraih oleh pebisnis PH walaupun masih harus berbagi dengan berbagai pihak mulai dari perusahaan iklan sampai pemerintah Indonesia.. Sangat pantas untuk menjadi alasan pembenar bagi mereka untuk memproduksi acara sejenis dengan bermacam variannya.
Kurang puas dengan hasil pengamatan, saya mencoba mencatat berapa jumlah uang atau hadiah yang biasanya diterima oleh orang miskin yang ditayangkan telah :”dibantu” kemudian membandingkan hasil yang diperoleh masing-masing pihak. Dan mudah ditebak, si miskin memperoleh bagian terkecil dari keuntungan tayangan reality show ini.
Dari sini saya sudah semakin memperoleh penjelasan logis dari penjulukan oleh teman saya tersebut. Bener kawan, mereka memang “(men) jual (an)” kemiskinan dan memperoleh untung darinya.
Comments
Post a Comment